TOUR

TOUR
konawe utara

Senin, 12 April 2021

MAKALAH PROSES LEGISLASI DI INDONESIA

 

MAKALAH PROSES LEGISLASI DI INDONESIA

Penulis

Ingka Lestari IP017

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan bangsa ini, bahkan pada masa pemerintahan colonial belanda sudah dilakukan.

Perlunya system otonomi daerah didasari oleh para pendiri Negara republic indonesia ketika menyusun UUD 1945, mengingat letak geografis dan kondisi sosiologis masyarakat indonesia yang terbesar diberbagai pulau dan terdiri atas berbagai suku, agama, ras, serta golongan.

Substansi perda seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat daerah dalam artian dengan adanya perda tersebut tidak menghambat investasi ke daerah. Maka pentingnya melakukan evaluasi perda adalah untuk mengetahui segala kekurangannya. Sebab dampak negative dari perda dapat berimplikasi pada menurunnya minat investor yang hendak menanamkan modal ke daerah-daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengertian politik hukum sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh Negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara.

Di dalam pengertian sederhana tersebut, hukum ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara sebagai pembuatan hukum baru atau pencabutan hukum lama oleh Negara harus dijadikan langkah untuk mencapai tujuan Negara.

 

B.     Rumusan Masalah

 

1.      Bagaimana peran politik hukum sebagai konstruksi  awal dalam proses pembuatan peraturab daerah ?

2.      Bagaimana menciptakan legislasi perda yang memenuhi asa dalam Negara kesatuan ?

3.      Apakah legislasi perda sudah dinyatakan efektif dalam masyarakat ?

 

C.    Tujuan Penulisan

 

Makalah ini bertujuan sebagai pemenuhan kewajiban atas tugas perorangan yang diberikan dalam mata kuliah Proses Legislasi di Indonesia. Dan dapat menjadikan suatu perhatian dan penambah wawasan dalam menggali suatu peran politik hukum dalam perda.

 

BAB II

PEMERINTAH LOKAL

 

A.    Bentuk Pemerintahan Lokal

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan garis secara tegas mengenai penyelenggaraan pemerintah local di Indonesia. Garis tegas tersebut menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri serta pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa termasuk kesatuan-kesatuan masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari pinsip Negara kesatuan republic indonesia.

Hal ini berarti setelah Amandemen UUD 1945 titik tolak penyelenggaraan pemerintah local ditekankan pada otonomi daerah.

Dalam hasanah teori hukum tata Negara dikenal pula adanya dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan ditingkat local. Kedua bentuk pemerintahan tersebut adalah :

Pemerintahan local administrative, yakni satuan-satuan pemerintahan local dibawah pemerintaha pusat yang semata-mata hanya menyelenggarakan aktifitas pemerintaha pusat diwilayah-wilayah Negara. Satuan pemerintah local seperti ini pada hakikatnya hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.

Pemerintah  lokal otonomi yakni satuan-satuan pemerintah local yang berada dibawah pemerintahan pusat yang berhak dan berwenang menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat.

Kedua bentuk penyelenggaraan pemerintahan local tersebut diatas (administrative dan otonomi) pernah dilakukan secara bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini Nampak jelas ketika politik perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia mempergunakan UU No.5 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Didalam UU ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah akan terdapat pemerintahan daerah otonomi dan wilayah administrasi.

Menurut undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah setelah reformasi 1998 dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan local tersebut sudah dipisahkan secara tegas. Baik UU No.22 tahub 1999 maupun undang-undang no.32 tahun 2004 menegaskan bahwa pemerintahan local otonomi hanya dilaksanakan dikabupaten dan kota. Sedangkan untuk penyelengaraan pemerintahan local administrative dan otonomi dilaksanakan secara bersama-sama di provinsi yang dalam hal ini dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

Sedangkan menuruk UU no.32 tahun 2004 nampak dari ketentuan pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah diwilayah provinsi yang bersangkutan.

 

B.     Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan local

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah local dikenal adanya 4 asa penyelengaraan yaitu :

 

a.      Asas sentralisasi

Yaitu suatu asas pemerintahan yang terpusat, artinya tidak dikenal adanya penyerahan wewenang atau urusan pemerintahan kepada bagian-bagian (daerah atau wilayah) Negara. Semua kewenangan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun local berada ditangan pemerintah pusat, kalau pun ada kewenangan yang berada dipemerintah local, hal itu semata-mata hanya menjalankan pemerintah dari pemerintah pusat. Pemerintah local termasuk pejabat-pejabatnya di tingkat local hanya melaksanakan kehendak atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal adanya inisiatif atau perkara dari pemerintah local.

 

b.      Asas Desentralisasi

Asaa ini menghendaki dalam penyelenggara pemerintah, ada sebagian wewenang atau urusan pemerintahan pusat dilimpahkan atau diserahkan kepada pemerintah local untuk diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga sendiri.

Menurut pasal 1 angka 7 undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada pemerintah kepada daerah  otonom untuk mengatur  dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara kesatuan republic indonesia.

 

c.       Asas Dekonsentrasi

Asas dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk penghalusan dari asas sentralisasi. Dikatakan demikian, karena didalam penyelenggaraannya peran dan kedudukan pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam menentukan asas-asas (prinsip-prinsip) maupun cara penyelenggaraan urusan pemerintah di tingkat daerah.

Dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat menempatkan pejabat-pejabatnya di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat.

 

d.      Asas Medebewind

Merupakan bentuk desentralisasi  atau otonomi tidak penuh. Asas ini diperlukan untuk sarana uji coba kes iapan bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintah sendiri.

 

 

 

BAB III

POLITIK  HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

 

A.    Hukum (perda) sebagai produk politik

Negara republic Indonesia merupakan satu-satunya negara yang berbentuk kepulauan yang di dalamnya terkandung aspek ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Keseluruhan aspek itu haus disatukan secara intensif demi menegah terjadinya disintegrasi daerah.

Negara-negara yang berdiri khas demokrasi konstitusional, undang-undang memiliki fungsi membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga lebih terlindungi.

Oleh sebab itu perubahan yang terjadi dalam kebijakan peraturan daerah tidak semata-mata mengekor dinamika pembangunan dan pengembangan suatu daerah tetapi juga mangatur serta membatasi ruang gerak pemerintah daerah agar tidak melakukan tindakan semena-mena kepada rakyat.

Berdasarkan hal diatas, maka diperlukan politik hukum yang baik pengertian politik hukum adalah arah kebijakan (legal policy) yang dibuat resmi oleh Negara, mengenai hukum apakah yang akan diperlukan untuk mencapai tujuan Negara. Dalam arti sempit, hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara sehingga pembuatan hukum bau atau pencabutan hukum lama oleh Negara harus dijadikan langkah unruk mencapai tujuan Negara.

Politik hukum sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara, bangsa dan rakyat, maka politik hukum sesungguhnya diejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama pada masyarakat daerah.

Maka politik hukum di daerah harus terwujud dalam seluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat di daerah.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

 

A.    Legislasi Perda

UUD NKRI 1945 menunjukkan bahwa, indonesia merupakan suatu Negara kesatuan, pluralitas kondisi local baik ditinjau dari adat-istiadat, kapasitas pemerintahan daerah, suasana demokrasi local, dan latar belakang pembentukan daerah masing-masing mengharuskan ditetapkannya kebajikan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan.

Keputusan politik untuk memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah telah memberikan perubahan yang signivikan terhadap system pemerintahan indonesia pada umumnya dan khususnya pemerintahan daerah.

Desentralisasi dalam teori dan praktiknya lebih memberikan kebebasan dan kemandirian kepada masyarakat daerah di dalam proses perencanaan dalam pengambilan keputusan, terutama terhadap kepentingan masyarakat daerah. Adakalanya, makna desentralisasi menjadi alas an kokoh dalam menbentuk suatu perda yang tidak memenuhi rasa keadilan di dalam masuyarakat (tidak ideal) sedangkan tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan peran dan fungsi badan legislative daerah, memperdayakan, menumbuhkan prakarsam kreatifitas masyarakat.

Apabila terdapat perbedaan antara sentralisasi dan desentralisasi yang diungkapkan dalam Negara kesatuan, maka perbedaan ini dapat disajikan semata dari sudut pandang lingkup wilayah keabsahaan norma-norma yang membentuk tatanan hukum nasional.

Menurut hans kelsen, desentralisasi murni terjadi jika tidak adanya norma-norma yang berlaku untuk seluruh wilayah tidak adanya norma positif yang berlaku untuk seluruh wilayah, namun terdapat grund norm yang dicita-citakan berlaku untuk seluruh wilayah.

Sebagaimana ditentukan dalam pasal 136 UU No.32 tahun 2004, bahwa perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupatn/kota dan tugas pembantuan. Tahapan perencanaan pembentukan perda dimulai dengan program legislasi daerah (Prolegda) yang bertujuan mendisain perda secara terencana, bertahap, terarah dan terpadu.

Program pembangunan peraturan perundang-undangan daerah perlu menjadi prioritas karena perubahan terhadap undang-undang tentang pemerintah daerah dan berbagai peraturan perundangan lainnya serta dinamika masyarakat dan pembangunan daerah menuntut pula adanya penataan system hukum dan kerangka hukum yang melandasinya.

 

 

B.     Dasar-dasar dalam Legislasi

a.      Politik dalam Legislasi

Teori politik modern terbagi atas teori demokrasi elitis dan teori demokrasi pertisipatif. Menurut pandangan teori demokrasi elitis, suatu masyarakat dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang impersonal.

Penekanan utama ilmuan Harold Lasswell yaitu adanya fungsi manipulative dan kemampuan para elit. Pandangan teori demokrasi elitis, berbeda dengan pemikiran John Dewey yang menyatakan bahwa keberadaan suatu masyarakat demokrasi tergantung pada consensus sosial dengan pandangan pada perkembangan manusia yang didasarkan atas kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik.

Untuk memahami demokrasi, tidak cukup hanya menyimak teks-teks normative yang tertera dalam peraturan perundang-undangan saja melainkan harus berorientasi pada fakta. Ilmu hukum tidak pernah menjadi ilmu sosial murni karena hukum dapat berasal sollen sein dan sein sollen. Pada prinsipnya, hukum selalu mengandung aspek cita dan realita.

 

b.      Konfigurasi Politik Hukum

secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu negaradapat ditelaah secara dikotomis yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi politik otoriter.

Pada Negara demokratis, proses legislasi mengarah pada konfigurasi politik demokratis yaitu suatu susuna kekuatan politik yang membuka peluan bagi potensi rakyat secara maksimal untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan Negara. Adanya interaksi politik dalam ranah legislasi selalu menimbulkan pertentangan individual. Proses legislasi unruk menjadikan hukum positif, faktanya merupakan proses yang sarat dengan berbagai muatan, nilai dan kepentingan para actor.

 

c.       Kearifan Lokal dalam suatu Perda

Inti permasalahan dari proses legislasi suatu perda yaitu tidak mengikutsertakan peran serta masyarakat dalam membentuk peraturan tersebut. Dalam kaitan ini, manusia adalah komponen makhluk hidup yang paling sentral dan kursial, karena manusia adalah bagian dari unsure makhluk hidup yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain. Cermin dari kearifan lingkungan masyarakat secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat.

 

Efektifitas Legislasi

Terdapat beberapa perubahan dalam proses legislasi ddi parlemen sebagai konsekuensi dai amandemen UUD serta lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proses legislasi. Dapat dijelaskan dengan keberadaan DPD yang bertujuan untuk lebih mengakomodasi kepentingan daerah di parlemen. Kehadiran DPD telah mengubah pola proses legislasi yang selama ini didominasi oleh Dewan Perwakilan rakyat dan pemerintah.

Istilah legislasi berasal dari bahasa inggris (Legislation). Dalam khasanah ilmu hukum legislasi mengandung makna dikotomi yang memiliki makna proses pembentukan hukum atau produk hukum. Legislasi dapat juga diartika sebagai pembuatan undang-undang.

Legislasi sebagai asumsi dasar melahirkan hukum positif akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu yang berinteraksi dalam proses legislasi tersebut. Secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu negara dapat ditelaah secara dikotomis, yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi politik otoriter.

Jika konfigurasi politik yang dianut oleh suatu Negara demokratis, maka dalam proses legislasinya akan demokratis karena komfigurasi partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Sedangkan komfigurasi politik yang dianut Negara otoriter, maka peranan dan partisipasimasyarakat dalam proses legislasi relative kecil karena proses legislasi identik dengan intervensi politik.

Inti legislasi terdiri atas dua golongan besar yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis berlangsung proses-proses untuk menantang suatu gagasan, isu, dan /atau masalah yang selanjutnya akan dibawa ke dalam agenda yuridis.

Legislasi tidak sekedar suatu kegiatan dalam merumuskan norma-norma ke dalam teks-teks hukum yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kewenangan dalam perumusan tersebut, namun jangkauannya melintas hingga pergaulan dan interaksi kekuatan sosial politik yang melingkup dan berada di sekitarnya.

Plato mengatakan bahwa legislasi dan pembentukan tatanan politik merupakan sarana paling sempurna di dunia ini untuk mencapai kebaikan. Mengakaji legislasi dalam ranah ilmu perundang-undangan haruslah menerima suatu kenyataan biarpun legislasi berpedoman pada hukum, pada dasarnya merupakan pencerminan dan determinasi (hal menentukan, hal menetapkan, hal memastikan, ketetapan hati) dari proses yang terjadi dalam kehidupan sosial politik.

Fakta legislasi demikian dikarenakan orang yang memiliki kewenangan untuk membentuk hukum tersebut merupakan lembaga politik. Setiap legislasi selalu dipengaruhi oleh interaksi politik tertentu tang tengah berlangsung di Negara dimana legislasi tersebut dilangsungkan berdasarkan asas keterbukaan. Semenjak otonomi daerah diimplementasikan. Eksistensi perda sebagai salah satu sarana legal tas kebijakan daerah merupakan salah satu isu sentral dan sering kali perda bertentangan dengan kepentingan umum.

 

 

BAB V

KESIMPULAN

 

Politik hukum sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara, bangsa dan rakyat. Dikaitkan dengan politik hukum di daerah, maka politik hukum sedungguhnya diejawantahkan dalam nuasa kehidupan bersama pada masyarakat daerah.

Maka politik hukum didaerah harus terwujud dalam seluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat di daerah.

Implikasi dari pembentukan perda yang baik akan berdampak pada meningkatnkan infestasi di daerah-daerah. Proses perencanaan yang baik akan menghasilkan perda yang baik pula. Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan, terdapat empat syarat bagi peraturan perundang-undngan (termasuk perda) yang baik, yaitu yuridis, sosiologis, filosofis, dan teknik perencanaan peraturan perundang-undangan yang baik.

Adapun teknik perencangan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi ketepatan struktur, ketetapan pertimbangan, ketetapan dasar hukum, ketepatan bahasa, ketepatan dalam pemakaian huruf dan tanda baca.

Selain keempat syarat tersebut, pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik juga harus memperhatikan asas-asas formal dan material.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah

Anis Ibrahim, Legislasi dan Demokrasi

Rachmad Syafa’at dkk, Negara, masyarakat adat dan kearifan local


download file https://files.fm/u/52b6ccw6t  atau hub. wa 082293614989

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar