MAKALAH PROSES LEGISLASI DI
INDONESIA
Penulis
Ingka
Lestari IP017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan
bangsa ini, bahkan pada masa pemerintahan colonial belanda sudah dilakukan.
Perlunya system
otonomi daerah didasari oleh para pendiri Negara republic indonesia ketika
menyusun UUD 1945, mengingat letak geografis dan kondisi sosiologis masyarakat
indonesia yang terbesar diberbagai pulau dan terdiri atas berbagai suku, agama,
ras, serta golongan.
Substansi perda
seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat daerah dalam artian dengan
adanya perda tersebut tidak menghambat investasi ke daerah. Maka pentingnya
melakukan evaluasi perda adalah untuk mengetahui segala kekurangannya. Sebab
dampak negative dari perda dapat berimplikasi pada menurunnya minat investor
yang hendak menanamkan modal ke daerah-daerah baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Pengertian
politik hukum sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara
resmi oleh Negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan
diberlakukan untuk mencapai tujuan Negara.
Di dalam
pengertian sederhana tersebut, hukum ditempatkan sebagai alat untuk mencapai
tujuan Negara sebagai pembuatan hukum baru atau pencabutan hukum lama oleh
Negara harus dijadikan langkah untuk mencapai tujuan Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran politik hukum sebagai
konstruksi awal dalam proses pembuatan
peraturab daerah ?
2. Bagaimana menciptakan legislasi perda
yang memenuhi asa dalam Negara kesatuan ?
3. Apakah legislasi perda sudah dinyatakan
efektif dalam masyarakat ?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini
bertujuan sebagai pemenuhan kewajiban atas tugas perorangan yang diberikan
dalam mata kuliah Proses Legislasi di Indonesia. Dan dapat menjadikan suatu
perhatian dan penambah wawasan dalam menggali suatu peran politik hukum dalam
perda.
BAB II
PEMERINTAH LOKAL
A. Bentuk Pemerintahan Lokal
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan
garis secara tegas mengenai penyelenggaraan pemerintah local di Indonesia.
Garis tegas tersebut menyangkut pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri serta pengakuan
kepada daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa termasuk
kesatuan-kesatuan masyarakat adat asalkan tidak melanggar batas-batas dari pinsip
Negara kesatuan republic indonesia.
Hal ini berarti
setelah Amandemen UUD 1945 titik tolak penyelenggaraan pemerintah local
ditekankan pada otonomi daerah.
Dalam hasanah
teori hukum tata Negara dikenal pula adanya dua bentuk penyelenggaraan
pemerintahan ditingkat local. Kedua bentuk pemerintahan tersebut adalah :
Pemerintahan
local administrative, yakni satuan-satuan pemerintahan local dibawah
pemerintaha pusat yang semata-mata hanya menyelenggarakan aktifitas pemerintaha
pusat diwilayah-wilayah Negara. Satuan pemerintah local seperti ini pada
hakikatnya hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Pemerintah lokal otonomi yakni satuan-satuan pemerintah
local yang berada dibawah pemerintahan pusat yang berhak dan berwenang
menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat.
Kedua bentuk
penyelenggaraan pemerintahan local tersebut diatas (administrative dan otonomi)
pernah dilakukan secara bersama-sama dalam satu wilayah. Hal ini Nampak jelas
ketika politik perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia
mempergunakan UU No.5 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.
Didalam UU ini dinyatakan bahwa di dalam satu wilayah akan terdapat
pemerintahan daerah otonomi dan wilayah administrasi.
Menurut
undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah setelah reformasi 1998
dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan local tersebut sudah dipisahkan secara
tegas. Baik UU No.22 tahub 1999 maupun undang-undang no.32 tahun 2004
menegaskan bahwa pemerintahan local otonomi hanya dilaksanakan dikabupaten dan
kota. Sedangkan untuk penyelengaraan pemerintahan local administrative dan
otonomi dilaksanakan secara bersama-sama di provinsi yang dalam hal ini
dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Sedangkan
menuruk UU no.32 tahun 2004 nampak dari ketentuan pasal 32 ayat (1) yang
menyatakan bahwa gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil pemerintah diwilayah provinsi yang bersangkutan.
B. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan
local
Dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah local dikenal adanya 4 asa penyelengaraan yaitu :
a. Asas sentralisasi
Yaitu suatu asas
pemerintahan yang terpusat, artinya tidak dikenal adanya penyerahan wewenang
atau urusan pemerintahan kepada bagian-bagian (daerah atau wilayah) Negara.
Semua kewenangan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun local berada ditangan
pemerintah pusat, kalau pun ada kewenangan yang berada dipemerintah local, hal
itu semata-mata hanya menjalankan pemerintah dari pemerintah pusat. Pemerintah
local termasuk pejabat-pejabatnya di tingkat local hanya melaksanakan kehendak
atau kebijaksanaan dari pemerintah pusat. Tidak dikenal adanya inisiatif atau
perkara dari pemerintah local.
b. Asas Desentralisasi
Asaa ini
menghendaki dalam penyelenggara pemerintah, ada sebagian wewenang atau urusan
pemerintahan pusat dilimpahkan atau diserahkan kepada pemerintah local untuk
diatur dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Menurut pasal 1
angka 7 undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dinyatakan
bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system
Negara kesatuan republic indonesia.
c. Asas Dekonsentrasi
Asas
dekonsentrasi pada hakikatnya merupakan bentuk penghalusan dari asas
sentralisasi. Dikatakan demikian, karena didalam penyelenggaraannya peran dan
kedudukan pemerintah pusat masih sangat mendominasi dalam menentukan asas-asas
(prinsip-prinsip) maupun cara penyelenggaraan urusan pemerintah di tingkat
daerah.
Dalam
pelaksanaan asas dekonsentrasi pemerintah pusat menempatkan pejabat-pejabatnya
di daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat.
d. Asas Medebewind
Merupakan bentuk
desentralisasi atau otonomi tidak penuh.
Asas ini diperlukan untuk sarana uji coba kes iapan bagi pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan pemerintah sendiri.
BAB III
POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
A. Hukum (perda) sebagai produk politik
Negara republic
Indonesia merupakan satu-satunya negara yang berbentuk kepulauan yang di
dalamnya terkandung aspek ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan. Keseluruhan aspek itu haus disatukan secara intensif
demi menegah terjadinya disintegrasi daerah.
Negara-negara
yang berdiri khas demokrasi konstitusional, undang-undang memiliki fungsi
membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga lebih terlindungi.
Oleh sebab itu
perubahan yang terjadi dalam kebijakan peraturan daerah tidak semata-mata
mengekor dinamika pembangunan dan pengembangan suatu daerah tetapi juga
mangatur serta membatasi ruang gerak pemerintah daerah agar tidak melakukan
tindakan semena-mena kepada rakyat.
Berdasarkan hal
diatas, maka diperlukan politik hukum yang baik pengertian politik hukum adalah
arah kebijakan (legal policy) yang dibuat resmi oleh Negara, mengenai hukum
apakah yang akan diperlukan untuk mencapai tujuan Negara. Dalam arti sempit,
hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara sehingga pembuatan hukum bau
atau pencabutan hukum lama oleh Negara harus dijadikan langkah unruk mencapai
tujuan Negara.
Politik hukum
sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara,
bangsa dan rakyat, maka politik hukum sesungguhnya diejawantahkan dalam nuansa
kehidupan bersama pada masyarakat daerah.
Maka politik
hukum di daerah harus terwujud dalam seluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan
agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh
elemen masyarakat di daerah.
BAB IV
LEGISLASI DAERAH DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
A. Legislasi Perda
UUD NKRI 1945
menunjukkan bahwa, indonesia merupakan suatu Negara kesatuan, pluralitas
kondisi local baik ditinjau dari adat-istiadat, kapasitas pemerintahan daerah,
suasana demokrasi local, dan latar belakang pembentukan daerah masing-masing
mengharuskan ditetapkannya kebajikan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan.
Keputusan
politik untuk memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah telah memberikan
perubahan yang signivikan terhadap system pemerintahan indonesia pada umumnya
dan khususnya pemerintahan daerah.
Desentralisasi
dalam teori dan praktiknya lebih memberikan kebebasan dan kemandirian kepada
masyarakat daerah di dalam proses perencanaan dalam pengambilan keputusan,
terutama terhadap kepentingan masyarakat daerah. Adakalanya, makna
desentralisasi menjadi alas an kokoh dalam menbentuk suatu perda yang tidak
memenuhi rasa keadilan di dalam masuyarakat (tidak ideal) sedangkan tujuan
pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan peran dan fungsi badan
legislative daerah, memperdayakan, menumbuhkan prakarsam kreatifitas
masyarakat.
Apabila terdapat
perbedaan antara sentralisasi dan desentralisasi yang diungkapkan dalam Negara
kesatuan, maka perbedaan ini dapat disajikan semata dari sudut pandang lingkup
wilayah keabsahaan norma-norma yang membentuk tatanan hukum nasional.
Menurut hans
kelsen, desentralisasi murni terjadi jika tidak adanya norma-norma yang berlaku
untuk seluruh wilayah tidak adanya norma positif yang berlaku untuk seluruh
wilayah, namun terdapat grund norm yang dicita-citakan berlaku untuk seluruh
wilayah.
Sebagaimana
ditentukan dalam pasal 136 UU No.32 tahun 2004, bahwa perda dibentuk dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupatn/kota dan tugas
pembantuan. Tahapan perencanaan pembentukan perda dimulai dengan program
legislasi daerah (Prolegda) yang bertujuan mendisain perda secara terencana,
bertahap, terarah dan terpadu.
Program
pembangunan peraturan perundang-undangan daerah perlu menjadi prioritas karena
perubahan terhadap undang-undang tentang pemerintah daerah dan berbagai
peraturan perundangan lainnya serta dinamika masyarakat dan pembangunan daerah
menuntut pula adanya penataan system hukum dan kerangka hukum yang
melandasinya.
B. Dasar-dasar dalam Legislasi
a. Politik dalam Legislasi
Teori politik
modern terbagi atas teori demokrasi elitis dan teori demokrasi pertisipatif.
Menurut pandangan teori demokrasi elitis, suatu masyarakat dibentuk oleh
kekuatan-kekuatan yang impersonal.
Penekanan utama
ilmuan Harold Lasswell yaitu adanya fungsi manipulative dan kemampuan para
elit. Pandangan teori demokrasi elitis, berbeda dengan pemikiran John Dewey
yang menyatakan bahwa keberadaan suatu masyarakat demokrasi tergantung pada
consensus sosial dengan pandangan pada perkembangan manusia yang didasarkan
atas kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik.
Untuk memahami
demokrasi, tidak cukup hanya menyimak teks-teks normative yang tertera dalam
peraturan perundang-undangan saja melainkan harus berorientasi pada fakta. Ilmu
hukum tidak pernah menjadi ilmu sosial murni karena hukum dapat berasal sollen
sein dan sein sollen. Pada prinsipnya, hukum selalu mengandung aspek cita dan
realita.
b. Konfigurasi Politik Hukum
secara
konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh suatu negaradapat
ditelaah secara dikotomis yaitu konfigurasi politik demokrasi dan konfigurasi
politik otoriter.
Pada Negara
demokratis, proses legislasi mengarah pada konfigurasi politik demokratis yaitu
suatu susuna kekuatan politik yang membuka peluan bagi potensi rakyat secara
maksimal untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan Negara. Adanya
interaksi politik dalam ranah legislasi selalu menimbulkan pertentangan
individual. Proses legislasi unruk menjadikan hukum positif, faktanya merupakan
proses yang sarat dengan berbagai muatan, nilai dan kepentingan para actor.
c. Kearifan Lokal dalam suatu Perda
Inti
permasalahan dari proses legislasi suatu perda yaitu tidak mengikutsertakan
peran serta masyarakat dalam membentuk peraturan tersebut. Dalam kaitan ini,
manusia adalah komponen makhluk hidup yang paling sentral dan kursial, karena
manusia adalah bagian dari unsure makhluk hidup yang paling sempurna jika
dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain. Cermin dari kearifan lingkungan
masyarakat secara konkrit terkristalisasi dalam produk hukum masyarakat.
Efektifitas Legislasi
Terdapat
beberapa perubahan dalam proses legislasi ddi parlemen sebagai konsekuensi dai
amandemen UUD serta lahirnya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan proses legislasi. Dapat dijelaskan dengan keberadaan DPD yang bertujuan
untuk lebih mengakomodasi kepentingan daerah di parlemen. Kehadiran DPD telah
mengubah pola proses legislasi yang selama ini didominasi oleh Dewan Perwakilan
rakyat dan pemerintah.
Istilah
legislasi berasal dari bahasa inggris (Legislation). Dalam khasanah ilmu hukum
legislasi mengandung makna dikotomi yang memiliki makna proses pembentukan
hukum atau produk hukum. Legislasi dapat juga diartika sebagai pembuatan
undang-undang.
Legislasi
sebagai asumsi dasar melahirkan hukum positif akan sesuai dan selalu dipengaruhi
oleh konfigurasi politik tertentu yang berinteraksi dalam proses legislasi
tersebut. Secara konseptual, konfigurasi politik yang berlaku dan dianut oleh
suatu negara dapat ditelaah secara dikotomis, yaitu konfigurasi politik
demokrasi dan konfigurasi politik otoriter.
Jika konfigurasi
politik yang dianut oleh suatu Negara demokratis, maka dalam proses
legislasinya akan demokratis karena komfigurasi partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Sedangkan
komfigurasi politik yang dianut Negara otoriter, maka peranan dan
partisipasimasyarakat dalam proses legislasi relative kecil karena proses
legislasi identik dengan intervensi politik.
Inti legislasi
terdiri atas dua golongan besar yaitu tahap sosiologis (sosio-politis) dan
tahap yuridis. Dalam tahap sosiologis berlangsung proses-proses untuk menantang
suatu gagasan, isu, dan /atau masalah yang selanjutnya akan dibawa ke dalam
agenda yuridis.
Legislasi tidak
sekedar suatu kegiatan dalam merumuskan norma-norma ke dalam teks-teks hukum
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kewenangan dalam perumusan
tersebut, namun jangkauannya melintas hingga pergaulan dan interaksi kekuatan
sosial politik yang melingkup dan berada di sekitarnya.
Plato mengatakan
bahwa legislasi dan pembentukan tatanan politik merupakan sarana paling
sempurna di dunia ini untuk mencapai kebaikan. Mengakaji legislasi dalam ranah
ilmu perundang-undangan haruslah menerima suatu kenyataan biarpun legislasi
berpedoman pada hukum, pada dasarnya merupakan pencerminan dan determinasi (hal
menentukan, hal menetapkan, hal memastikan, ketetapan hati) dari proses yang
terjadi dalam kehidupan sosial politik.
Fakta legislasi
demikian dikarenakan orang yang memiliki kewenangan untuk membentuk hukum
tersebut merupakan lembaga politik. Setiap legislasi selalu dipengaruhi oleh
interaksi politik tertentu tang tengah berlangsung di Negara dimana legislasi
tersebut dilangsungkan berdasarkan asas keterbukaan. Semenjak otonomi daerah
diimplementasikan. Eksistensi perda sebagai salah satu sarana legal tas
kebijakan daerah merupakan salah satu isu sentral dan sering kali perda
bertentangan dengan kepentingan umum.
BAB V
KESIMPULAN
Politik hukum
sangat erat kaitannya dengan penggunaan kekuasaan di dalam mengatur Negara, bangsa
dan rakyat. Dikaitkan dengan politik hukum di daerah, maka politik hukum
sedungguhnya diejawantahkan dalam nuasa kehidupan bersama pada masyarakat
daerah.
Maka politik
hukum didaerah harus terwujud dalam seluruh jenis perda. Hal tersebut ditujukan
agar terjadi kepastian hukum dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh seluruh
elemen masyarakat di daerah.
Implikasi dari
pembentukan perda yang baik akan berdampak pada meningkatnkan infestasi di
daerah-daerah. Proses perencanaan yang baik akan menghasilkan perda yang baik
pula. Dalam studi ilmu dan teori perundang-undangan, terdapat empat syarat bagi
peraturan perundang-undngan (termasuk perda) yang baik, yaitu yuridis,
sosiologis, filosofis, dan teknik perencanaan peraturan perundang-undangan yang
baik.
Adapun teknik
perencangan peraturan perundang-undangan yang baik itu harus memenuhi ketepatan
struktur, ketetapan pertimbangan, ketetapan dasar hukum, ketepatan bahasa,
ketepatan dalam pemakaian huruf dan tanda baca.
Selain keempat
syarat tersebut, pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik juga harus
memperhatikan asas-asas formal dan material.
DAFTAR PUSTAKA
UU No.32 Tahun
2004 tentang pemerintah daerah
Anis Ibrahim,
Legislasi dan Demokrasi
Rachmad Syafa’at
dkk, Negara, masyarakat adat dan kearifan local
download file https://files.fm/u/52b6ccw6t atau hub. wa 082293614989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar