Good and Clean Governance
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam seminar yang diadakan oleh
Asian Development Bank (ADB) di Fukuoka Jepang pada tanggal 10 Mei 1997 didapat
sebuah kesimpulan, pengalaman negara-negara di Asia Timur memperlihatkan bahwa
pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government) merupakan faktor
penting dalam sebuah proses pembangunan (ADB, 1997). Pertemuan ini juga
menyepakati empat elemen penting dari pemerintahan yang baik dan bersih yaitu
(1) accountability, (2) transparancy, (3) predictability, dan (4)
participation. Kesimpulan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kesadaran
bahwa tanpa keinginan mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak
mungkin melakukan pembangunan dengan baik.
Pengabaian terhadap good governance
telah menjadi penyebab terhadap krisis keuangan yang terjadi di kawasan Asia.
Krisis ini meluas menjadi ekonomi, sosial dan politik. Bahkan kemudian meruyak
kepada krisis kepercayaan publik yang amat parah. Menurut Wanandi (1998) krisis
ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintah yang tidak berdasarkan hukum,
kebijakan publik yang tidak transparan serta absennya akuntabilitas publik
akhirnya menghambat pengembangan demokrasi dalam masyarakat.
Walaupun kesadaran ini muncul
relatif terlambat tetapi harus disikapi secara benar dan serius dalam
menyongsong pembangunan masa depan terutama pada negara-negara yang telah
menjadi korban multi-krisis yang terjadi dalam tiga tahun terakhir. Khusus bagi
Indonesia, ini menjadi lebih bermakna karena perubahan paradigma ini juga
seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pelaksanaan pemerintahan terutama
dalam menyikapi pelaksanaan otonomi daerah yang sudah di depan mata.
Pengertian Dasar Good and Clean
Governance
Paling tidak ada empat kata yang
harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan good and clean governance,
yaitu (1) good government, (2) clean government, (3) good governance, dan (4)
clean governance. Dari empat pembagian tersebut dilihat bahwa yang menjadi
perhatian adalah good (baik), clean (bersih), government (pemerintahan), dan
governance (penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma yang hendak
dikembangkan adalah pemerintahan yang baik dan bersih yang juga didukung oleh
penyelenggara pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan demikian government
lebih memberikan perhatian terhadap sistem, sedangkan governance lebih
memberikan perhatian terhadap sumber daya manusia yang bekerja dalam sistem
tersebut. Tanpa menjaga keseimbangan terhadap dua hal ini akan muncul
ketimpangan dalam praktek peyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya akan
menimbulkan kehancuran terhadap sistem bernegara.
Tanpa membedakan secara tajam antara
empat elemen penting tersebut, Wanandi (1998) memberikan pengertian sebagai
berikut :
“kekuasaan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, segala kebijakan diambil secara transparan, serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Kekuasaan juga harus didasarkan atas
aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau kelompok tertentu.
Kekuasaan juga harus taat kepada prinsip bahwa semua warga negara mempunyai hak
dan kewajiban yang sama di mata hukum”.
Sementara itu, Riswanda Imawan
(2000) berpendapat bahwa clean government adalah satu bentuk atau struktur
pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari
masyarakat serta menghindari terjadinya abuse of power. Untuk itu diperlukan
(1) pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak, (2) struktur
organisasi pemerintah yang tidak kompleks (lebih sederhana), (3) mekanisme
politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga negara, dan
(4) mekanisme saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra
struktur politik.
Pengertian ini muncul karena dua
thesis, pertama, kurangnya perhatian terhadap pemerintahan yang baik dan bersih
telah mendorong terciptanya praktik monopoli, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kedua, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan bahagian
yang sangat penting dari sebuah proses demokrasi. Karena hal ini menjadi syarat
mutlak bagi pembangunan yang menyeluruh dan berimbang.
Banyak pendapat yang mengatakan
bahwa pembahasan mengenai good and clean governance baru dimulai pada
tahun-tahun terakhir (Sukardi: 2000). Kalau hal ini dilihat dari kecenderungan
hari ini, pendapat ini ada benarnya. Tapi kalau dilihat dari perkembangan
peraturan perundang-undangan, pembicaraan ke arah pemerintahan yang baik dan
benar sudah dimulai seiring dengan kuatnya keinginan untuk membuat Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN).
Artinya, pembicaraan good and clean
governance, paling tidak, sudah dimulai sejak awal tahun 1970-an yaitu dengan
penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto (1978) yang berjudul Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Kemudian secara
kelembagaan, upaya itu dapat dilihat dari “Proyek Penelitian tentang Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)” yang dilakukan oleh Badan Pembinaan dan
Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989 (Lotulung, 1994). Buku dan
hasil penelitian tersebut berhasil menjadi doctrine penyelenggaraan
pemerintahan yang baik di Indonesia.
Meskipun upaya menciptakan
pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai sejak tahun 1970-an tetapi
tidak mampu membawa perubahan dalam praktek penyelenggaran negara. Hal ini
terjadi karena doctrine AAUPB tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Oleh
karena itu para pelanggarnya tidak dapat dikenakan sanksi hukum.
Keinginan menjadi good and clean
governance ke dalam norma hukum baru dimulai setelah kita mengalami krisis pada
tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada bulan
Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998
tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN).
Kemudian diikuti dengan pemberlakuan
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenngaraan Negara yang Bersih dan (KKN) yang
diikuti dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 28 yaitu PP
No. 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, PP No.
66/1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian
Anggota Komisi Pemeriksa, PP No. 67/1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan
Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa, dan PP No. 68/1999
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Peyelenggaraan Negara.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip-prinsip Pemerintahan
yang Baik dan Bersih
Kalau diperhatikan unsur-unsur yang
dihasilkan dalam Annual Meeting ADB di Fokuoka Jepang tahun 1997, perubahan
peranan pemerintah dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
serta UU No. 28 tahun 1999 ada beberapa prinsip dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih tersebut :
1.
Akuntabilitas
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 7
UU No. 28 Tahun 1999 akuntabilitas diartikan sebagai berikut :
“adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari rumusan tersebut dapat
diketahui bahwa akuntabilitas pertanggungjawaban setiap proses dan hasil akhir
penyelenggaraan negara. Menurut Willian C. Johnson (1998) pertanggungjawaban
tersebut dapat dilakukan dalam berbagai sifat atau cara.
Pertama, bersifat internal-formal
dilakukan dalam bentuk (1) executive control, (2) budget preparation and
management, (3) rule-making procedures, (4) inspector general and auditors, (5)
chief financial officers, dan (6) investigative commission.
Kedua, external-formal dilakukan
dalam bentuk (1) legislative oversight, (2) budgetary review and enactment, (3)
legislative rule-making, (4) legislative veto, (5) legislative investigation,
(6) legislative casework, (7) legislative audits, (8) ratification and
appointments, (9) judicial review and takeover, (10) intergovernmental
controls, dan (11) electoral process.
Ketiga, external-informal dilakukan
dalam bentuk (1) monitoring by interest/clientele groups, (2) professional
communities, (3) informational media, dan (4) freedom of information law.
Keempat, internal-informal dilakukan dalam bentuk (1) professional standars,
(2) ethical codes and values, dan (4) whistle-blowers.
Munculnya beberapa sifat atau cara
dalam melakukan pertanggungjawaban karena ada anggapan bahwa satu sarana saja
dirasakan tidak memadai untuk dapat mengenal secara pasti kegiatan yang
dilakukan oleh para penyelenggara negara. Misalnya pendirian komisi Ombudsman
adalah salah satu usaha untuk mewujudkan pertanggungjawaban pelaksanaan
pemerintahan yang bersifat external-informal.
2.
Transparans
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4
UU No. 28 tahun 1999 prinsip transparan diartikan sebagai berikut :
“Asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara”.
Dari pengertian tersebut terlihat
bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang benar dan jujur tentang
penyelenggaraan negara. Ini adalah peran serta masyarakat secara nyata dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Secara lebih jelas peran
serta masayarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun 1999. Dalam Pasal 2 ayat
(1) dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang
bersih dilaksanakan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;
b. hak memperoleh pelayanan yang
sama dan adil dari penyelenggara negara;
c. hak menyampaikan saran dan
pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara.
Pengunaan hak dalam butir a, b dan c
tersebut rakyat mendapat perlindungan hukum. Untuk itu semua, menurut ketentuan
Pasal 3 dan 4 dalam mempergunakan hak tersebut rakyat berhak mempertanyakan
langsung kepada instansi terkait atau komisi pemeriksa. Hal itu dapat dilakukan
secara langsung ataupun tidak langsung. Penyampaian itu dapat dilakukan secara
lisan ataupun tertulis. Kalau dibandingkan dengan negara lain yang telah lama memberikan
perhatian terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, Indonesia
masih agak tertinggal karena pada negara tersebut akses informasi masyarakat
(public access to information) terhadap penyelenggaraan negara diakui dengan
undang-undang atau information act. Dibandingkan dengan PP, pengaturan dengan
UU tentu mempunyai kewibawaan yang lebih tinggi untuk dipatuhi.
3.
Partisipasi
Pengertian ini tidak ditemui dalam
UU No. 28 Tahun 1999, tetapi kalau dipahami misi UU No. 22 Tahun 1999 maka partisipasi
masyarakat adalah hal yang hendak diwujudkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dengan agak ringkas Sukardi (2000) menterjemahkan partisipasi
sebagai upaya pembangunan rasa keterlibatan masyarakat dalam berbagai proses
yang dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini adalah upaya melibatkan masyarakat
dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dalam teori pengambilan keputusan
semakin banyak partisipasi dalam proses kelahiran sebuah policy maka dukungan
akan semakin luas terhadap kebijaksanaan tersebut (Dunn, 1997). Bahkan David
Osborne dan Ted Gaebler (1996) menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya berperan
sebagai katalis. Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan ke depan
pemerintah yang mempunyai peranan terbatas dapat mempercepat pembangunan masyarakat.
4. Kepastian
Hukum
Pengertian kepastian hukum dapat
ditemui dalam Pasal 3 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 yang menyatakan :
“adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap pelaksanaan penyelenggaraan negara”.
Prinsip keempat ini mengarahkan agar
penyelenggara negara bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku (taat asas).
Kepatuhan terhadap norma hukum adalah bukti bahwa adanya keinginan untuk
menegakkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara. Adalah sesuatu yang
tidak masuk akal kalau keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan
bersih tidak didukung dengan penghormatan terhadap norma hukum yang telah
disepakati sebagai kaedah landasan hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum
adalah prinsip yang harus dipelihara.
2.2 Otonomi Daerah dan Upaya
Menciptakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih
Perubahan paradigma hubungan pusat
dan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 adalah merupakan upaya melakukan
reformasi total penyelenggaraan negara di daerah. Dampak reformasi total ini
ditinjau dari segi politik ketatanegaraan membuktikan telah terjadi pergeseran
paradigma dari pemerintahan yang bercorak highly centralized menjadi pola yang
lebih terdesentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
mewujudkan otonomi daerah secara lebih luas sesuai dengan karakter khas yang
dimiliki daerah. Hal ini dilakukan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi yang
berkembang di tengah masyarakat sesuai dengan potensi wilayahnya.
Perubahan yang dilakukan ini adalah
untuk mewujudkan masyarakat madani dalam kehidupan berpemerintahan,
bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai good governance atau
behoorlijk bestuur (Koswara, 2000). Hal ini sangat diperlukan karena
berkurangnya secara signifikan peranan pemerintah pusat di daerah terutama
dalam melakukan pengawasan preventif. Oleh karena itu, unsur-unsur pelaksanaan
pemerintahan yang baik dan benar dapat memainkan peranan penting di daerah.
Apalagi UU No. 22 Tahun 1999 secara terang mengatakan bahwa aspirasi rakyat
akan menjadi roh pelaksanaan pemerintahan daerah.
Sehubungan dengan good governance
dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga hal penting yang harus dilakukan di
tingkat daerah. Pertama, transparasi kebijakan. Pendapat ini muncul karena pada
era Orde Baru nafas birokrasi sebagai alat kekuasaan yang represif sangat
menonjol. Perumusan kebijakan pembangunan dan pemerintahan yang cenderung
elitis, tertutup, dan berbau nepotis. Oleh karena itu, dalam era otonomi
daerah, kondisi ini diharapkan tidak muncul lagi karena perilaku penyelenggara
negara harus mengedepankan terjadinya transparasi kebijakan publik (Hadimulyo
2000).
Kedua, partisipasi masyarakat.
Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 memberikan peluang kepada DPRD untuk melakukan
kontrol kepada eksekutif tapi hal itu dirasakan belum cukup karena adanya
indikasi bahwa DPRD dan pihak eksekutif “bermain mata” dalam menyikapi
kebijakan-kebijakan politik yang strategis di daerah. Untuk mencegah ini
diperlukan peranan yang optimal dari masyarakat dalam melakukan kontrol
terhadap pelaksanaan pemerintahan. John Fenwick (1995) mengatakan bahwa dalam
penataan pemerintahan daerah sudah waktunya diperlakukan prinsip the public as
consumers. Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih mengambil posisi sebagai
fasilitator dan advokator kepentingan masyarakat.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah
prinsip ini sudah pada tempatnya dilaksanakan di daerah karena dari dulu
masyarakat hanya dilibatkan secara terbatas dalam memanajemen pemerintahan dan
pembangunan. Bahkan dalam waktu yang lama rakyat lebih banyak dijadikan sebagai
objek pembangunan. Peranan masyarakat hanya sebatas retorika, kepentingan
birokrasi lebih menonjol dan birokrasi berubah menjadi personifikasi sekelompok
elit birokrat.
Subari Sukardi –bekas Walikota
Sawahlunto Sumatra Barat— berpendapat ada tiga alasan meengedepankan
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk mewujudkan good
governance. Pertama, kualitas program akan meningkat karena dengan partisipasi
masyarakat yang besar akan memberikan jaminan bahwa tidak ada kepentingan
masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses penentuan kebijakan
pemerintah. Kedua, akan diperoleh legitimasi yang lebih besar karena dengan
partisipasi masyarakat yang lebih besar maka rakyat akan mempunyai tanggung
jawab terhadap kebijakan tersebut. Dan dukungan masyarakat akan menjadi lebih
besar dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan. Ketiga, partisipasi masyarakat
merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan perkembangan intelektual dan
moral masyarakat.
Yang pasti, membiasakan diri untuk
memberikan akses informasi penyelenggaraan negara terhadap masyarakat.
Kebiasaan instansi pemerintah tertutup terhadap pihak luar (terutama yang ingin
menadapatkan informasi) harus segera dihilangkan. Ketertutupan ini dapat
menimbulkan rasa curiga yang berlebihan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Sikap arogan sudah tidak masanya lagi karena ini dapat
menimbulkan sikap vis a vis antara masyarakat dengan jajaran penyelenggara
negara di daerah. Dan, kalau ini berlanjut, ia akan menimbulkan krisis
kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah.
BAB
III
PENUTUP
Bagaimana menumbuhkan etos good
governance tersebut ? Sebaiknya dimulai dari sikap individu penyelenggara
negara. Pada kutipan awal tulisan ini saya kutipkan pidato pertama Abu Bakar
Siddig ketika ia pertama menjadi kalifah. Ini adalah bukti bahwa ia memulai
pelaksanaan pemerintahan yang baik dan bersih dari diri sendiri. Meskipun
pewaris Nabi, ia tidak segan menagatakan : I am not the best of you, if I do
ill put me right, false applause is treachery.
Terakhir, pemerintah di sini tidak
hanya diterjemahkan sebagai eksekutif saja. Tetapi harus dilihat dalam
pengertian yang lebih luas yaitu semua pihak yang memperoleh amanah dari rakyat
seperti legislatif, yudikatif, dan bahkan termasuk kalangan pengajar di
perguruan tinggi. Singkatnya semua pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
Asian Development Bank, (1997),
Governance : Promoting Sound Development Management, ADB.
Dunn, William N., (1994), Public
Policy Analysis, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Fendwick, John, (1995), Managing
Local Government, Chapman & Hall, London.
Hadimulyo, (2000), Otonomi Daerah
dan Good Governance, dalam Harian Republika, 4 November, Jakarta.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia
antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan
hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas
pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.
Masalah-masalah tersebut juga telah
menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran
semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun,
dan bahkan telah menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah yang
dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia.
Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih
berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata
pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda
reformasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik
adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis
dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol
masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena
globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam
pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis).
Kedua perkembangan diatas, baik
demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali
pemerintahan, cepat atau lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi
yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan
pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai
cenderung menghambat perluasan aktivitas bisnis, harus mulai menyadari
pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat
yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), harus
mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus
berfungsi sebagai pelaku.
Oleh karena itu, tata pemerintahan yang
baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera
dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan
lancar. Disadari, mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan waktu yang
tidak singkat dan juga upaya yang terus menerus. Disamping itu, perlu juga
dibangun kesepakatan serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen
bangsa yang melibatkan tiga pilar berbangsa dan bernegara, yaitu para aparatur
negara, pihak swasta dan masyarakat madani untuk menumbuhkembangkan rasa
kebersamaan dalam rangka mencapai tata pemerintahan yang baik.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dan latar belakang good governance?
2.
Bagaimana prinsip dan konsepsi good governance?
3.
Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor pemerintah?
4.
Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor swasta?
5.
Bagaimana cara mengembangkan struktur organisasi dan manajemen perubahan?
6.
Bagaimana hubungan antara good governance dengan otonomi daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Latar Belakang Good Governance
1.
Pengertian
Good Governance
Dari segi
administrasi pembangunan, good governance didefinisikan sebagai berikut:
An overall institutional framework within wich its citizens are allowed to
interact and transact freely, at difference levels, to fulfil its political,
economic and social apirations. Basically, good governance has three aspect:
(i) The ability of citizens to express views and acces
decision making freely;
(ii) The capacity of the
government agencies (both political and bureaucratic) to translate these views
into realistic plans and to implement them cost effectively; and
(iii) The ability of citizens and
institutions to compare what has been asked for with what has been planned, and
to compare what has been planned with what has been implemented".
Sedangkan dari
segi teori pembangunan, good governance diartikan sebagai berikut:
" ........ a plitical and
bureaucratic framework wich provides an enabling macra-economic environment for
investment and growth, which pursues distributional and equity related
policies; which makes entrepreneurial interventions when and where required and
which practices honest and afficient management principles. A commited and
imaginative political leadership accompanied by an efficient and accountable
bureaucracy does seem to be the key to the establishment of good governance in
a country."
Dari definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa good governance mensyaratkan adanya hubungan yang harmonis antara negara (state), masyarakat (civil siciety) dan pasar (market).
Jika mengacu pada
World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik (public sector) adalah menciptakan good governance. Pengertian good governance adalah kepemerintahan yang baik, menurut UNDP (United Nation Develepment Program) dapat diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi
dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan
korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran
serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
2.
Latar Belakang Good Governance
Jika
ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance berakar dari
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang
bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap
kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati
kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja
pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik.
Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya
melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal.
Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas kinerja
birokrasi yang sesungguhnya.
B.
Prinsip dan Konsepsi Good Governance
1.
Prinsip
Good Governance
Berdasarkan pengertian Good
Governance oleh Mardiasmo dan Bank Dunia yang disebutkan diatas dan sejalan
dengan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur Negara termasuk daerah
aadlah perlunya mewujudkan administrasi Negara yang mampu mendukung kelancaran
dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan maka menuntut penggunaan konsep Good Governance sebagai
kepemerintahan yang baik, relevan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Ide
dasarnya sebagaimana disebutkan Tingkilisan (2005:116) adalah bahwa
Negara merupakan institusi yang legal formal dan konstitusional yang
menyelenggarakan pemerintahan dengan fungsi sebagai regulator maupun sebagai Agent
of Change.
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Good
Governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya
desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan pengendalian yang
melekat pada korporasi dan manajemen professionalnya, maka ditetapkan Good
Corporate Governance. Sehingga dikenal prinsip-prinsip utama dalam
Governance korporat adalah: transparansi, akuntabilitas, fairness,responsibilitas,
dan responsivitas. (Nugroho,2004:216)
Transparansi merupakan keterbukaan,
yakni adanya sebuah system yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi
internal dan eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban
secara bertingkat keatas, dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan
direksi, dan dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara
luas diberikan oleh dewn komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas
secara sempit dapat diartikan secara financial. Fairness agak sulit
diterjemahkan karena menyangkut keadilan dalam konteksmoral. Fairness lebih
menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan
bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.
Responsibilitas adalah
pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini, penilaian
pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika korporat, termasuk dalam hal
etika professional dan etika manajerial. Sementara itu komite governansi
korporat di Negara-negara maju menjabarkan prinsip governansi korporat menjadi
lima kategori, yaitu: (1) hak pemegang saham, (2) perlakuan yang fair bagi
semua pemegang saham, (3) peranan konstituen dalam governansi korporat, (4)
pengungkapan dan transparansi dan (5) tanggungjawab komisaris dan direksi.
UNDP memberikan beberapa karekteristik
pelaksanaan good governance, meliputi:
· Participation,
keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara
serta berpartisipasi secara konstruktif.
· Rule
of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
· Tranparancy,
transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh informasi. Informasi
yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh
mereka yang membutuhkan.
· Responsiveness,
lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stake holders.
· Concensus
orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas
· Equity,
setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh kesejahteraan
dan keadilian.
· Efficiency
dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya
guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
· Accountbility,
pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
· Strategic
vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki visi jauh ke
depan.
C.
Karakteristik Dasar Good Governance
Ada
tiga karakteristik dasar good governance :
1. Diakuinya semangat
pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak
dapat dielakkan sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah
yang abadi. Dengan kata lain pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given)
dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan
konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya
kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal
yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit
akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas
sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.
2. Tingginya sikap
toleransi, baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap umat agama lain.
Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan
menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish
Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain
dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati.
3. Tegaknya prinsip
demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga
merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan
perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri
ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi,
berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan
nilai kewarganegaraan, akhlak, dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang
luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang
baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.
D. Penerapan
Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada keterkaitan
antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan
di berbagai negara dengan lemahya
corporate governance.
Corporate
governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan
komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya
yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004).
Good Corporate Governance (GCG) diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan
melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.
Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan kegiatan studi Implementasi
Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD. Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal
(baseline) yang komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di Sektor
swasta, BUMN dan BUMD di Indonesia yang
dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data pembanding dengan kondisi di
masa depan.
Studi dilakukan
dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran kuesioner kepada responden, (2)
wawancara mendalam dengan pimpinan perusahaan yang menangani implementasi GCG,
dan (3) penelusuran dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam studi
ini adalah 66 perusahaan, yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public, 17 perusahaan BUMN (12
diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan,
diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga karyawan
non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan,
pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga
pembiayaan dan perusahaan afiliasi.
Data dari
kuesioner diolah dan dianalisis secara kuantitatif, sedangkan hasil wawancara
mendalam dan penelusuran dokumen diolah dan dianalisis secara kualitatif.
Analisis implementasi GCG dilakukan dengan mengukur implementasi berdasarkan
prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, dan fairness, serta berdasarkan kerangka kerja GCG yaitu
compliance, conformance, dan performance. Selain itu, secara khusus dilihat
aspek code of conduct, pencegahan korupsi dan disclosure. Dari hasil studi
diketahui bahwa secara umum implementasi GCG pada perusahaan-perusahaan yang
menjadi responden sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari Indeks GCG yang
didapat, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG yang mencapai angka 88,89 maupun
berdasarkan kerangka kerja implementasi GCG (compliance, conformance dan
performance) yang mencapai 90,41. Demikian juga untuk aspek code of conduct,
pencegahan korupsi, dan disclosure.
Hal ini berarti
secara rata-rata, hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh
perusahaan responden. Dari prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif
lemah yaitu responsibilitas. Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan
masih lemahnya implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah
Komisaris. Sebagian perusahaan responden hanya memiliki Komite Audit, Komite
Nominasi dan Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko, sedangkan komite-komite
lainnya seperti Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite
GCG, masih banyak yang belum memilikinya. Adapun prinsip yang sudah relatif
kuat adalah prinsip transparansi dan fairness.
Ini menunjukkan
perusahaan telah berupaya untuk lebih transparan dan fair kepada stakeholder.
Jika dilihat berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek yang masih lemah adalah
aspek compliance pada sisi Board dan conformance pada sisi Karyawan. Pada sisi
Board, kelemahannya selain pada pembentukan komite-komite, juga pada
implementasi pencegahan benturan kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan
penegak hukum. Sedangkan pada sisi karyawan, berkaitan dengan penandatanganan
pernyataan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku dan Peraturan Perusahaan. Indeks
code of conduct adalah 88,77. Artinya secara umum perusahaan telah memiliki
code of conduct dan telah memuat beberapa hal yang berkaitan dengan
implementasi prinsip-prinsip GCG. Namun yang masih perlu diperbaiki dalam code
of conduct ini adalah sosialisasi kepada pihak eksternal seperti pelanggan,
pemasok dan perusahaan asuransi.
Indeks pencegahan
korupsi adalah 89,39, yang berarti sudah cukup baik. Namun beberapa hal yang
perlu didorong adalah pengawasan terhadap pelaksanaan dari tindakan yang
berpotensi terhadap terjadinya benturan kepentingan. Selain itu, masih belum
adanya kerjasama antara perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam
mengembangkan sistem pencegahan korupsi. Indeks untuk disclosure ini adalah
92,42. Aspek ini termasuk yang menonjol dan menjadi perhatian utama dari
responden, terutama bagi perusahaan yang sudah go public. Aspek ini menjadi
sangat diprioritaskan oleh perusahaan karena kinerja pada aspek ini dapat
dinilai dan dirasakan oleh pihak luar. Untuk analisis, perusahaan responden
dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga Keuangan, BUMN/BUMD
Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan, dan
Swasta Non Lembaga
Keuangan.
Pembagian ini
untuk memudahkan analisis serta agar perbandingan antar perusahaan dapat
dilakukan lebih fair. Hasil studi menunjukkan bahwa swasta lembaga keuangan memiliki indeks yang paling tinggi
dibanding kelompok yang lain, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG maupun
berdasarkan compliance, conformance, dan performance. Selain itu, kelompok ini
juga memiliki indeks yang paling tinggi untuk code of conduct dan pencegahan
korupsi.
Namun untuk
disclosure, indeks tertinggi diraih kelompok swasta non lembaga keuangan. Secara umum implementasi di
perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, baik perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik
dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Selain itu, implementasi
di perusahaan yang
swasta lebih baik
dibanding BUMN/BUMD. Demikian pula, perusahaan yang sudah terbuka (go public)
lebih baik dibanding perusahaan yang belum go public. Berdasarkan kerangka
kerja GCG, aspek compliance cukup lemah pada kelompok perusahaan non lembaga
keuangan. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya perusahaan yang belum melengkapi
komite-komite fungsionalnya. Selain itu, masih kurangnya tindakan komisaris
terhadap (potensi) benturan kepentingan yang menyangkut dirinya. Sebaliknya,
aspek-aspek tersebut sangat diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan yang
bergerak di sektor keuangan, sehingga lembaga keuangan lebih patuh dibanding
perusahaan non lembaga keuangan. Sebagai rekomendasi, untuk meningkatkan
kualitas implementasi GCG, perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk lebih
patuh dalam membentuk berbagai komite fungsional yang diperlukan dalam
penerapan GCG.
Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan membina seperti Bank Indonesia,
Menneg BUMN dan Bapepam LK agar lebih proaktif dalam mengawasi implementasi GCG
terutama berkaitan dengan potensi terjadinya benturan kepentingan.
Selain itu, perlu
diterbitkan peraturan yang dapat memaksa perusahaan sawsta yang belum terbuka
dan BUMD untuk menerapkan GCG. Implementasi Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi pemerintah
terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen Pajak, Bea
Cukai, Imigrasi, BPN, Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan institusi
penegak hukum. Hal ini untuk mendorong badan usaha lebih konsisten dalam
menerapkan GCG serta untuk menciptakan iklam usaha yang lebih sehat, kondusif
dan kompetitif. Dalam rangka meningkatkan kerjasama perusahaan dengan lembaga
penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan rumusan bentuk dan
metode kerjasama yang dapat dilakukan dan mendorong perusahaan untuk melakukan
kerjasama dengan lembaga penegak hukum.
Perlu adanya
sosialisasi yang intensif tentang pedoman umum GCG, penyusunan code of conduct,
kaitan GCG dengan pencegahan korupsi, dan best practises dalam
penerapan GCG melalui
berbagai media.
E.
Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan dalam Good Governance
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, (2004) good
governance (G) di Indonesia adalah penyelenggaraan peerintahan yang baik
yang dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan
substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang
efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governance akan
tercipta di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM,
pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki
keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu pun
di antara mereka yang memiliki kontrol absolute.
Pengembangan publil good governance
di Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai (cluster of values),
yang notabane sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia.
Sekumpulan nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai good
governance yakni (1) check and balances, (2) decentralization;
(3) effectiveness; (4) efficiency, (5) equity, (6) human
rights protection, (7) integrity, (8) participation, (9) pluralism,
(10) predictability, (11) rule of law, dan (12) transparency.
Pertanyaan yang muncul kemudian dalam
implementasinya adalah bagaimana mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan
mengupayakan pemecahan persoalan penegakan good governance. Menurut
Lukman Hakim, ada tiga faktor determinan pencapaian good governance,
yakni lembaga atau pranata (institutions/system), sumber daya manusia (human
factor), dan budaya (cultures).
Terkait dengan tiga faktor determinan
tersebut, pada subbab ini akan dibahas tentang lembaga atau pranata, budaya dan
sumber daya manusia dalam dua bagian, yaitu struktur organisasi dalam good
governance dan manajemen perubahan yang diperlukan oleh organisasi.
1.
Struktur Organisasi dalam Good Governance
Globalisasi dan perkambangan informasi
akan mempercepat perubahan organisasi. Menurut Tulis (2000), perubahan terhadap
sumber daya manusia sebesar 10 persen saja dapat mengubah struktur organisasi,
selain perubahan ang disebabkan faktor teknologi, ekonomi, politik, dan sosial.
Praktik manajemen yang lama baik menyangkut struktur organisasi, personel, dan
tugas pokok, akan menyebabkan resistensi terhadap perubahan dan menyebabkan
sulitnya melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka mencapai efisiensi.
Dalam rangka menghadapi perubahan yang begitu cepat, maka beberapa hal yang
penting dilakukan adalah :
a. Memelihara
kesadaran yang tinggi akan urgensi
Perubahan besar dalam organisasi, baik
struktur dan budaya tidak akan pernah sukses bila organisasi tersebut cepat
puas. Kesadaran tinggi akan tingkat urgensi yaitu memahami hak yang mendesak
dan menempatkannya sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat membantu
proses mengatasi masalah dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi
organisasi akan menyebabkan tingginya tingkat organisasi. Untuk memelihara
urgensi tingkat tinggi maka diperlukan sistem informasi manajemen yang
menyangkut sistem informasi akuntansi, untuk keuangan, sistem informasi sumber
daya manusia (SDM) untuk mengukur kinerja SDM, dan sistem informasi lain yang
diperlukan oleh organisasi. Sistem informasi ini akan menjamin kecermatan dan
kejelian data, sehingga data yang digunakan untuk pengambilan keputusan yang
valid.
b. Penyusunan pranata
organisasi
Misi dan tujuan setiap organisasi
sektor publik adalah memuaskan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan
publik serta melestarikan tingkat kepuasan masyarakat. Tanangan untuk mencapai
kepuasan adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas pelayanan dan
kepercayaan publik. Permasalahan dalam peningkatan mutu ini pada birokrasi
terkendala dengan sumber informasi yang terbatas, tingkat pengetahuan aparat
yang tidak memadai, budaya birokrasi, dan pengambilan keputusan yang tidak
efektif karena delegasi wewenang yang tidak optimal serta tidak adanya insentif
dan berkorelasi dengan sistem penggajian.
Permasalahan dalam penyusunan pranata
organisasi adalah masalah keagenan, yaitu kebijaksanaan yang salah dan berjalan
terus-menrus, program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta
pekerjaan yang tidak berkonstruksi terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan pengembangan pranata organisasi
pemerintah dan sistem nasional adalah mengoptimalkan informasi pengambilan
keputusan serta menciptakan sistem penggajian yang sepadan dengan kinerja.
Perbaikan sistem informasi dan sistem penggajian berbasis kinerja ini akan
meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan publik.
c. Perubahan Struktur
Organisasi
Perubahan kondisi pasar, teknologi,
sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good Governance dapat
memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan struktur
organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh
pelayanan public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur organisasi mencakup
tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan wewenang, tugas
pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang sepadan, dan (c)
sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit
organisasi.
Masalah utama dalam perubahan struktur
organisasi adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas
semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan
pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya
insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya.
Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan struktur
organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis
secara cermat dan hati-hati.
Perubahan
struktur organisasi sebelum GG dan sesudah GG
Sebelum GG
|
Sesudah GG
|
Struktur bersifat :
1.
Birokratik,
2.
Multilevel
3.
Disorganisasi dengan manajemen
4.
Kebijakan, program, dan prosedur ruwet
|
Struktur bersifat :
1.
Nonbirokratik, sedikit aturan
2.
Lebih sedikit level
3.
Manajemen berfungsi baik
4.
Kebijakan, program dan prosedur sederhana, tidak menimbulkan ketergantungan
|
Sistem :
1.
Tergantung pada beberapa sistem informasi kinerja
2.
Distribusi informasi terbatas pada eksekutif
3.
Pelatihan manajemen hanya pada karyawan senior
|
Sistem :
1.
Tergantung pada sistem informasi kinerja
2.
Distribusi informasi luas,
3.
Memberikan pelatihan kepada karyawan yang membutuhkan
|
Budaya Organisasi :
1.
Orientasi ke dalam
2.
Tersentralisasi
3.
Lambat dalam pengambilan keputusan
4.
Realistis-idiologi
5.
Kurang berani mengambil keputusan
|
Budaya Organisasi :
1.
Orientasi ke luar
2.
Memberdayakan sumber daya
3.
Pengambilan keputusan cepat
4.
Terbuka dan berintegrasi
5.
Berani mengambil risiko
|
Dalam rangka pelaksanaan GG, makia
organisasi modern dapat melakukan :
1. Kesadaran yang
tinggi terhadap tingkat urgensi
2. Kerja sama tim
yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3. Bisa menciptakan dan
mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4. Pemberdayaan semua
karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5. Memberikan
delegasi wewenang dengan efektif
6. Mengurangi
ketergantungan yang tidak perlu, dan
7. Mengembangkan
budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja
2.
Manajemen Perubahan
Sesuai dengan pertimbangan TAP MPR RI
Nomor II/MPR/1999, masalah krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia
merupakan penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Reformasi di
segala bidang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah penyelamatan, pemulihan,
pemantapan dan pengembangan pembangunan serta penguatan kepercayaan diri
Kemampuan para pemimpin penyelenggara
pemerintahan dan masyarakat yang mengelola perubahan menjadi sangat krisis dan
strategis, terutama sensitifitas dan responsibilitas terhadap tanda dan waktu
perubahan tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah penyelamatan, pemulihan,
dan pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam manajemen perubahan,
yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada yang gagal?
Perubahan yang gagal disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu :
a. Terlalu cepat puas
b. Team work yang
gagal
c. Merumuskan visi,
misi, dan program dengan kurang tepat
d. Gagal menciptakan
harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi
e. Menganggap
perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan perubahan, dan
f. Tidak bisa
mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi
budaya yang baru dalam organisasi.
Untuk mengurangi kegagalan dalam
perubahan budaya organisasi, maka harus dihilangkan atau dikurangi dampak
negatif dari perubahan seperti bubarnya organisasi, kehilangan pasar dan
kepuasaan pelanggan, penurunan gaji dan harus dikikis dengan menjelaskan
mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan, bagaimana tahap perubahan,
bagaimana hasil akhir dari perubahan, dan bagaimana peran serta dari setiap
anggota organisasi dalam perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam
perubahan, ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu :
1. Menetapkan
strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan
2. Mengembangkan
semangat kerja sama tim yang tinggi
3. Mengembangkan
strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program perubahan, sehingga
anggota dapat termotivasi, dan
4. Memberdayakan
setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan bakat.
F.
Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan
yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu
instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata
pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat
dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan
partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur
secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang
diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan
pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan
yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan;
2. Kelembagaan;
3 Personil;
4. Keuangan;
5. Perwakilan;
6. Pelayanan Publik dari
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen
dasar yang akan ditata dari dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU
No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar
diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan
nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan
yaitu penataan Otonomi Khusus NAD
dari Papua, penataan daerah dari
wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.
Setiap elemen tersebut disusun
penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai,
memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target
yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good
Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai
hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang
bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari
kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting.
Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi
dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami
kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan
untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari
pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun
1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang -
undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan
transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2),
yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala
Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka
terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat
terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini
merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana
penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD
seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena
akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan
keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyai
dampak politis ditolak atau diterima.
Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih
terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan
oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok
maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya
korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD.
Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif
maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan
kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16
Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan
penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal
tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan
pengawasan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian–uraian dari bab–bab
sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:
1. Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang
berbuat atau rancanggan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap
yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta
mengapa hal tersebut harus di lakukan.
2. Good
Governance merupakan
pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk memberikan arti serta defenisi
tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta
pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.
3. Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good
Governance sehingga tidak
ada kesalahan dalam aplikasinya.
4. Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan
karena peranan perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.
B.
Saran
Atas kesimpulan di
atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-kelemahan
dalam penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:
1. Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau
dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait. Karena
sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan efektif,
efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki
integritas dan nilai etika yang rendah.
2. Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus
ditingkatkan meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu bukan
berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.
DAFTAR PUSTAKA
http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/99011-12-466363723031.doc
http://www.alisjahbana08.wordpress.com/page/22/
http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=7
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067
http://www.scribd.com/doc/52568330/Good-Governance
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/52568330?extension=docx&ft=1322794393<=1322798003&uahk=I7OI11/oFO1Qz582ultXVVmvKbU
Sumber
:
http://valentsimplewritter.blogspot.com/2012/01/makalah-pkn-good-governance.html