TOUR

TOUR
konawe utara

Rabu, 21 Desember 2022

Pedoman penyusunan Anjab dan contoh Anjab terbaru

Contoh file dan pedomannya silahkan wa 082293614989

Untuk mengatur jabatan di instansi pemerintah, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) telah mengeluarkan Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Analisis Jabatan dan Analisis Beban Kerja. Selain merupakan amanat UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), setiap instansi pemerintah wajib untuk menyusun analisis jabatan (anjab) dan analisis beban kerja (ABK) guna menyusun kebutuhan jumlah serta jenis jabatan dari PNS dan PPPK.

“Peraturan mengenai menyusun anjab dan ABK telah dijadikan satu dalam Permen PANRB No. 1/2020. Sehingga dapat dilakukan penyusunan anjab dan ABK yang lebih baik di instansi pemerintah,” ujar Koordinator Perencanaan SDM Aparatur Kementerian PANRB Supardiyana dalam Rapat Koordinasi Teknis Sosialisasi Permen PANRB No. 1 Tahun 2020 tentang Analisis Jabatan dan Analisis Beban Kerja di Jakarta, Rabu (04/03).

Dalam menentukan dalam menyusun anjab dan ABK, terdapat serangkaian proses yang harus dilewati satu-persatu. Pertama adalah identifikasi mandat, desain organisasi, struktur organisasi, dan proses bisnis. Selanjutnya, pembentukan tim pelaksana penyusun anjab dan ABK yang kemudian akan melakukan analisis jabatan, pengumpulan data jabatan, pengolahan data jabatan, verifikasi jabatan yang terdiri dari uraian jabatan dan spesifikasi jabatan, validasi kebutuhan, serta penyusunan peta jabatan.

Setelah penyusunan anjab dan ABK selesai, hasilnya kemudian disampaikan kepada Kementerian PANRB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) melalui aplikasi e-formasi. Bagi pemerintah daerah, juga menyampaikan hasil analisis jabatan dan analisis beban kerja kepada Kementerian Dalam Negeri.

Penyusunan anjab dilakukan oleh instansi dalam rentang waktu minimal lima tahun sekali. Sedangkan untuk ABK dilakukan setiap tahun.

Adapun tahapan penyusunan anjab dan ABK tersebut tidak boleh dilakukan secara lompat-lompat. “Adanya lompatan proses pada penyusunan menyusun anjab dan ABK dapat menyebabkan masalah seperti jabatan yang tidak efisien dan tidak efektif,” lanjutnya.

Saat ini, lompatan proses dalam penentuan menyusun anjab dan ABK masih seringkali dilakukan. Akibatnya, jabatan-jabatan yang ada cenderung memiliki uraian jabatan yang seragam. Keseragaman dalam uraian jabatan ini menyulitkan pengidentifikasian indikator kinerja yang spesifik dan terukur.

Supardiyono juga menjelaskan bahwa terdapat kriteria dalam suatu jabatan. Pertama, sebuah jabatan harus memiliki tugas antara 5 hingga 12 tugas. Yang perlu diperhatikan adalah tugas berbeda dengan aktivitas. Selanjutnya, tugas-tugas tersebut harus saling berkesinambungan dan memiliki keterkaitan.

Tugas-tugas dalam satu jabatan juga harus selaras dengan kompetensi yang dibutuhkan. Terakhir, uraian tugas-tugas tersebut memiliki beban kerja minimal 1.250 jam per tahun.

Dengan adanya anjab dan ABK, maka akan diketahui mengenai uraian jabatan, beban kerja per jabatan, peta jabatan, dan bobot jabatan. Hasil dari anjab dan ABK dapat digunakan untuk menganalisis kebutuhan pegawai, penetapan kompetensi dan syarat dari suatu jabatan, serta sebagai indikator kinerja pegawai.

Anjab dan ABK bukanlah sekadar penyusunan jabatan. Dengan adanya anjab dan ABK, manfaat yang didapat antara lain jumlah, kualitas distribusi, serta komposisi pegawai dalam suatu instansi sesuai dengan beban kerjanya. Hal ini kemudian juga akan berpengaruh dalam penempatan pegawai yang tepat, pengembangan karier yang sesuai dengan kompetensi, dan sistem remunerasi yang adil dan layak. “Dengan begitu, kinerja SDM aparatur dapat lebih optimal,” pungkasnya. (ald/HUMAS MENPANRB)


STRATEGI LOLOS CPNS

CPNS 2021 sudah di depan mata. Bagaimana nih taktik kamu untuk bisa lolos CPNS di tahun ini? Untuk bisa lolos CPNS, kamu bisa mengikuti tips-tips berikut ini lho!

CPNS 2021 sudah di depan mata. Bagaimana nih taktik kamu untuk bisa lolos CPNS di tahun ini? Untuk bisa lolos CPNS, kamu juga harus punya taktik sendiri mengingat kamu akan bersaing dengan jutaan orang dari seluruh Indonesia. Jika kamu butuh tips lolos CPNS 2021, coba baca di bawah ini!

Tips Lolos CPNS 2021

Sudah bukan rahasia lagi, setiap tahun pasti pendaftaran CPNS selalu dibanjiri oleh peserta. Apalagi di tahun ini, pasti akan lebih membludak dari 2019, apalagi karena 2020 tidak ada seleksi CPNS. Jadi semua yang sudah menunggu-nunggu untuk tes CPNS akan mendaftar di tahun ini.

Nah, kalau sudah begitu, tentu kamu harus punya cara ampuh yang membuat kamu bisa lolos CPNS 2021. Berikut ini tips lolos CPNS 2021 yang bisa Dik Lulus coba terapkan.

1. Rencanakan jadwal belajarmu

Tips lolos CPNS 2021 pertama yang perlu Dik Lulus lakukan adalah merencanakan jadwal belajar untuk bisa mengasah soal-soal ujian SKD. Luangkanlah waktu belajar secara intensif yang bisa kamu gunakan untuk berlatih soal, mempelajari kisi-kisi, membaca berbagai materi. 

2. Rajin latihan soal-soal tes

Seperti kata pepatah “practice makes perfect” nah begitu juga saat kamu ingin lolos seleksi CPNS di tahun ini. Rajinlah melatih diri dengan mengerjakan soal-soal tes untuk mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari. 

Seperti yang kita tahu, di CPNS kamu akan dua kali melalui tes, pertama tes SKD (Seleksi Kemampuan Dasar) dan SKB (Seleksi Kemampuan Bidang).

Sekarang, tidak sulit buat menemukan contoh soal CPNS. Kamu bisa berlatih soal-soal CPNS, bisa melalui soal yang kamu temukan di internet, melalui buku soal, atau juga aplikasi yang menyediakan soal CPNS.

3. Mengenali dan mempelajari kisi-kisi dan materi CPNS

Jangan sampai kamu mengabaikan hal yang satu ini dari tips lolos CPNS 2021! Cobalah untuk mencari tahu seperti apa kisis-kisi dan materi CPNS di tahun lalu. 

Kamu bisa menemukan kisi-kisi tersebut dalam buku atau juga aplikasi yang dapat menjadi pedoman untuk belajar tes CPNS.

4. Ikut kelompok belajar atau bimbel

Belajar sendiri buat beberapa orang kadang terasa berat dan cepat membuat ngantuk. Apa Dik Lulus termasuk tipe seperti itu? 

Nah, kamu bisa mengatasi masalah belajar kamu dengan membentuk kelompok belajar bersama teman-teman, atau juga ikut bimbel CPNS baik tatap muka atau juga kelas online.

5. Selalu update informasi mengenai CPNS

Walau BKN sudah mengumumkan detail untuk pendaftaran CPNS di tahun ini, jangan sampai kamu tidak lagi memperbarui informasi seputar CPNS. Bukan tidak mungkin ada perubahan ketentuan, perubahan tanggal. Atau juga bisa jadi BKN memberikan kisi-kisi mengenai tes seleksi. 

Untuk itu, jangan lupa terus memperbarui informasi mengenai CPNS!

6. Persiapkan dokumen yang diperlukan

Mengingat kelengkapan dokumen merupakan syarat mutlak, tips lolos CPNS 2021 ini tak boleh kamu lewatkan. 

Pastikan kamu sudah menyiapkan seluruh kebutuhan dokumen untuk pendaftaran dengan lengkap. Jangan lupa, pastikan lagi apakah semua dokumen tersebut valid dan tepat sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh instansi dan formasi yang dibuka.

7. Memperhatikan passing grade

Tidak ada salahnya juga kamu memperhatikan passing grade, agar tidak gagal. 

Memang, seperti apa sih passing grade dalam tes CPNS? Mari kita pelajari sistem passing grade dari pelaksanaan seleksi CPNS 2019. 

Di CPNS 2019, passing grade tercantum dalam Permenpan RB No. 24 Tahun 2019. 

Berdasarkan Peraturan Menteri PANRB No. 24/2019 tentang Nilai Ambang Batas SKD Pengadaan CPNS 2019, para pelamar dengan jalur formasi umum dan formasi khusus tenaga pengamanan siber (cyber security) harus melampaui passing grade sebesar 126 untuk Tes Karakteristik Pribadi (TKP), 80 untuk Tes Intelegensia Umum (TIU), dan 65 untuk Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dan kamu akan dinyatakan lulus bila passing grade perbagian (TKP, TIU, TWK) memperoleh nilai SKD minimal 271 poin dari jumlah 100 soal. 

8. Istirahatkan pikiran sebelum ujian dimulai

Saat kamu sudah mendekati hari ujian, usahakan untuk mengistirahatkan pikiran. Untuk sementara, jauhkan dulu latihan soal, materi, dan lainnya. Ini cara terbaik untuk menghindari cemas yang bisa kamu alami. 

Pikiran yang tenang akan memudahkan kamu saat mengerjakan soal ujian.

Apalagi nantinya kamu akan mengerjakan soal tes berbasis CAT yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Jangan sampai karena kelelahan, malah menyulitkan kamu saat mengerjakan soal.

9. Pahami lokasi tes

Tips lolos CPNS 2021 selanjutnya, datanglah lebih awal ke lokasi tes. Ini untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, seperti terjebak macet, tersesat menuju lokasi, dan lainnya.

Datang lebih awal juga membantu kamu untuk lebih tenang.

10. Teliti dan memperhatikan waktu

Saat mengerjakan soal-soal SKD dan SKB, kamu harus lebih teliti. Sebab, akan banyak soal-soal tes yang menjebak, dengan jawaban yang mirip-mirip. Dengan teliti, kamu juga bisa menjawab soal dengan cepat dan tepat.

Perlu kamu ketahui juga, dalam tes CPNS nanti, memperhatikan waktu adalah hal yang penting. Jangan sampai kamu membuang banyak waktu hanya untuk mengerjakan satu soal. Kerjakan terlebih dahulu soal yang menurut kamu mudah, seperti soal yang sifatnya hafalan. Tentunya jenis soal ini tidak akan memakan banyak waktu dibanding soal logika atau hitungan. 

Soal SKD terdiri dari 35 soal TWK, 30 soal TIU, dan 35 soal TKP.

Beruntungnya, dalam sistem CAT, kamu bisa menandai soal yang kamu kira ragu jawabannya benar atau salahnya. Jadi, jika kamu masih ada waktu tersisa, kamu bisa cek ulang beberapa soal yang masih ragu.  

Selanjutnya, kamu bisa mengerjakan soal-soal TKP dahulu. Soal-soal TKP ini berisikan pertanyaan seputar dirimu, dan tentunya tidak akan memakan banyak waktu. Tidak ada jawaban yang benar atau salah, hanya ada nilai paling tinggi dan paling rendah. 

11. Optimis dan Berdoa

ketika semua usaha telah kamu lakukan dengan sungguh-sungguh maka Optimislah bahwa kamu akan mendapatkan hasil yang terbaik. setelahnya  pasrahkan semua kepada Allah. jangan lupa uintuk selalu berdoa di setiap sholat, dan yang pastinya mintalah pertolongan kepada Allah melalui tahajjud. perbanyaKeluargk sedekah dan mintalah doa pada Orang Tua dan Keluarga. Semogah Berhasil.


Nah, itulah tips lolos CPNS 2021 yang bisa kamu mulai coba. Spesial untuk kamu, kami juga berikan saran untuk mendownload Materi dan Latihan Soal CPNS ( TIU, TKP, TWK) pada link di bawah ini.

Sumber : Kitalulus.com

Editor    : ariawansaputra7@gmail.com

wa    :    082293614989


Link Download


Senin, 12 April 2021

Good and Clean Governance

Good and Clean Governance  


BAB I

PENDAHULUAN

 

Dalam seminar yang diadakan oleh Asian Development Bank (ADB) di Fukuoka Jepang pada tanggal 10 Mei 1997 didapat sebuah kesimpulan, pengalaman negara-negara di Asia Timur memperlihatkan bahwa pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government) merupakan faktor penting dalam sebuah proses pembangunan (ADB, 1997). Pertemuan ini juga menyepakati empat elemen penting dari pemerintahan yang baik dan bersih yaitu (1) accountability, (2) transparancy, (3) predictability, dan (4) participation. Kesimpulan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kesadaran bahwa tanpa keinginan mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak mungkin melakukan pembangunan dengan baik.

Pengabaian terhadap good governance telah menjadi penyebab terhadap krisis keuangan yang terjadi di kawasan Asia. Krisis ini meluas menjadi ekonomi, sosial dan politik. Bahkan kemudian meruyak kepada krisis kepercayaan publik yang amat parah. Menurut Wanandi (1998) krisis ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintah yang tidak berdasarkan hukum, kebijakan publik yang tidak transparan serta absennya akuntabilitas publik akhirnya menghambat pengembangan demokrasi dalam masyarakat.

Walaupun kesadaran ini muncul relatif terlambat tetapi harus disikapi secara benar dan serius dalam menyongsong pembangunan masa depan terutama pada negara-negara yang telah menjadi korban multi-krisis yang terjadi dalam tiga tahun terakhir. Khusus bagi Indonesia, ini menjadi lebih bermakna karena perubahan paradigma ini juga seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pelaksanaan pemerintahan terutama dalam menyikapi pelaksanaan otonomi daerah yang sudah di depan mata.

 

Pengertian Dasar Good and Clean Governance 

Paling tidak ada empat kata yang harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan good and clean governance, yaitu (1) good government, (2) clean government, (3) good governance, dan (4) clean governance. Dari empat pembagian tersebut dilihat bahwa yang menjadi perhatian adalah good (baik), clean (bersih), government (pemerintahan), dan governance (penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma yang hendak dikembangkan adalah pemerintahan yang baik dan bersih yang juga didukung oleh penyelenggara pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan demikian government lebih memberikan perhatian terhadap sistem, sedangkan governance lebih memberikan perhatian terhadap sumber daya manusia yang bekerja dalam sistem tersebut. Tanpa menjaga keseimbangan terhadap dua hal ini akan muncul ketimpangan dalam praktek peyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya akan menimbulkan kehancuran terhadap sistem bernegara.

Tanpa membedakan secara tajam antara empat elemen penting tersebut, Wanandi (1998) memberikan pengertian sebagai berikut : 

“kekuasaan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, segala kebijakan diambil secara transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Kekuasaan juga harus didasarkan atas aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau kelompok tertentu. Kekuasaan juga harus taat kepada prinsip bahwa semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum”.

Sementara itu, Riswanda Imawan (2000) berpendapat bahwa clean government adalah satu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya abuse of power. Untuk itu diperlukan (1) pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak, (2) struktur organisasi pemerintah yang tidak kompleks (lebih sederhana), (3) mekanisme politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga negara, dan (4) mekanisme saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur politik.

Pengertian ini muncul karena dua thesis, pertama, kurangnya perhatian terhadap pemerintahan yang baik dan bersih telah mendorong terciptanya praktik monopoli, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan bahagian yang sangat penting dari sebuah proses demokrasi. Karena hal ini menjadi syarat mutlak bagi pembangunan yang menyeluruh dan berimbang.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa pembahasan mengenai good and clean governance baru dimulai pada tahun-tahun terakhir (Sukardi: 2000). Kalau hal ini dilihat dari kecenderungan hari ini, pendapat ini ada benarnya. Tapi kalau dilihat dari perkembangan peraturan perundang-undangan, pembicaraan ke arah pemerintahan yang baik dan benar sudah dimulai seiring dengan kuatnya keinginan untuk membuat Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Artinya, pembicaraan good and clean governance, paling tidak, sudah dimulai sejak awal tahun 1970-an yaitu dengan penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto (1978) yang berjudul Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Kemudian secara kelembagaan, upaya itu dapat dilihat dari “Proyek Penelitian tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)” yang dilakukan oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989 (Lotulung, 1994). Buku dan hasil penelitian tersebut berhasil menjadi doctrine penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia. 

Meskipun upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai sejak tahun 1970-an tetapi tidak mampu membawa perubahan dalam praktek penyelenggaran negara. Hal ini terjadi karena doctrine AAUPB tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Oleh karena itu para pelanggarnya tidak dapat dikenakan sanksi hukum.

Keinginan menjadi good and clean governance ke dalam norma hukum baru dimulai setelah kita mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 

Kemudian diikuti dengan pemberlakuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenngaraan Negara yang Bersih dan (KKN) yang diikuti dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 28 yaitu PP No. 65/1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, PP No. 66/1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, PP No. 67/1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa, dan PP No. 68/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Peyelenggaraan Negara.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Prinsip-prinsip Pemerintahan yang Baik dan Bersih

Kalau diperhatikan unsur-unsur yang dihasilkan dalam Annual Meeting ADB di Fokuoka Jepang tahun 1997, perubahan peranan pemerintah dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 28 tahun 1999 ada beberapa prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih tersebut :

 

1. Akuntabilitas

Menurut penjelasan Pasal 3 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999 akuntabilitas diartikan sebagai berikut :

“adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa akuntabilitas pertanggungjawaban setiap proses dan hasil akhir penyelenggaraan negara. Menurut Willian C. Johnson (1998) pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan dalam berbagai sifat atau cara. 

Pertama, bersifat internal-formal dilakukan dalam bentuk (1) executive control, (2) budget preparation and management, (3) rule-making procedures, (4) inspector general and auditors, (5) chief financial officers, dan (6) investigative commission. 

Kedua, external-formal dilakukan dalam bentuk (1) legislative oversight, (2) budgetary review and enactment, (3) legislative rule-making, (4) legislative veto, (5) legislative investigation, (6) legislative casework, (7) legislative audits, (8) ratification and appointments, (9) judicial review and takeover, (10) intergovernmental controls, dan (11) electoral process. 

Ketiga, external-informal dilakukan dalam bentuk (1) monitoring by interest/clientele groups, (2) professional communities, (3) informational media, dan (4) freedom of information law. Keempat, internal-informal dilakukan dalam bentuk (1) professional standars, (2) ethical codes and values, dan (4) whistle-blowers. 

Munculnya beberapa sifat atau cara dalam melakukan pertanggungjawaban karena ada anggapan bahwa satu sarana saja dirasakan tidak memadai untuk dapat mengenal secara pasti kegiatan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Misalnya pendirian komisi Ombudsman adalah salah satu usaha untuk mewujudkan pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan yang bersifat external-informal.

 

2. Transparans

Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 tahun 1999 prinsip transparan diartikan sebagai berikut :

“Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara”.

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang benar dan jujur tentang penyelenggaraan negara. Ini adalah peran serta masyarakat secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Secara lebih jelas peran serta masayarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun 1999. Dalam Pasal 2 ayat (1) dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :

a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;

b. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;

c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara.

Pengunaan hak dalam butir a, b dan c tersebut rakyat mendapat perlindungan hukum. Untuk itu semua, menurut ketentuan Pasal 3 dan 4 dalam mempergunakan hak tersebut rakyat berhak mempertanyakan langsung kepada instansi terkait atau komisi pemeriksa. Hal itu dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Penyampaian itu dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Kalau dibandingkan dengan negara lain yang telah lama memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, Indonesia masih agak tertinggal karena pada negara tersebut akses informasi masyarakat (public access to information) terhadap penyelenggaraan negara diakui dengan undang-undang atau information act. Dibandingkan dengan PP, pengaturan dengan UU tentu mempunyai kewibawaan yang lebih tinggi untuk dipatuhi.

 

3. Partisipasi

Pengertian ini tidak ditemui dalam UU No. 28 Tahun 1999, tetapi kalau dipahami misi UU No. 22 Tahun 1999 maka partisipasi masyarakat adalah hal yang hendak diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan agak ringkas Sukardi (2000) menterjemahkan partisipasi sebagai upaya pembangunan rasa keterlibatan masyarakat dalam berbagai proses yang dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini adalah upaya melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dalam teori pengambilan keputusan semakin banyak partisipasi dalam proses kelahiran sebuah policy maka dukungan akan semakin luas terhadap kebijaksanaan tersebut (Dunn, 1997). Bahkan David Osborne dan Ted Gaebler (1996) menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya berperan sebagai katalis. Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan ke depan pemerintah yang mempunyai peranan terbatas dapat mempercepat pembangunan masyarakat.

 

4. Kepastian Hukum

Pengertian kepastian hukum dapat ditemui dalam Pasal 3 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 yang menyatakan :

“adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap pelaksanaan penyelenggaraan negara”.

Prinsip keempat ini mengarahkan agar penyelenggara negara bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku (taat asas). Kepatuhan terhadap norma hukum adalah bukti bahwa adanya keinginan untuk menegakkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal kalau keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak didukung dengan penghormatan terhadap norma hukum yang telah disepakati sebagai kaedah landasan hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum adalah prinsip yang harus dipelihara.

 

2.2 Otonomi Daerah dan Upaya Menciptakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih 

Perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 adalah merupakan upaya melakukan reformasi total penyelenggaraan negara di daerah. Dampak reformasi total ini ditinjau dari segi politik ketatanegaraan membuktikan telah terjadi pergeseran paradigma dari pemerintahan yang bercorak highly centralized menjadi pola yang lebih terdesentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan otonomi daerah secara lebih luas sesuai dengan karakter khas yang dimiliki daerah. Hal ini dilakukan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat sesuai dengan potensi wilayahnya.

Perubahan yang dilakukan ini adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai good governance atau behoorlijk bestuur (Koswara, 2000). Hal ini sangat diperlukan karena berkurangnya secara signifikan peranan pemerintah pusat di daerah terutama dalam melakukan pengawasan preventif. Oleh karena itu, unsur-unsur pelaksanaan pemerintahan yang baik dan benar dapat memainkan peranan penting di daerah. Apalagi UU No. 22 Tahun 1999 secara terang mengatakan bahwa aspirasi rakyat akan menjadi roh pelaksanaan pemerintahan daerah.

Sehubungan dengan good governance dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga hal penting yang harus dilakukan di tingkat daerah. Pertama, transparasi kebijakan. Pendapat ini muncul karena pada era Orde Baru nafas birokrasi sebagai alat kekuasaan yang represif sangat menonjol. Perumusan kebijakan pembangunan dan pemerintahan yang cenderung elitis, tertutup, dan berbau nepotis. Oleh karena itu, dalam era otonomi daerah, kondisi ini diharapkan tidak muncul lagi karena perilaku penyelenggara negara harus mengedepankan terjadinya transparasi kebijakan publik (Hadimulyo 2000).

Kedua, partisipasi masyarakat. Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 memberikan peluang kepada DPRD untuk melakukan kontrol kepada eksekutif tapi hal itu dirasakan belum cukup karena adanya indikasi bahwa DPRD dan pihak eksekutif “bermain mata” dalam menyikapi kebijakan-kebijakan politik yang strategis di daerah. Untuk mencegah ini diperlukan peranan yang optimal dari masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan. John Fenwick (1995) mengatakan bahwa dalam penataan pemerintahan daerah sudah waktunya diperlakukan prinsip the public as consumers. Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator kepentingan masyarakat.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah prinsip ini sudah pada tempatnya dilaksanakan di daerah karena dari dulu masyarakat hanya dilibatkan secara terbatas dalam memanajemen pemerintahan dan pembangunan. Bahkan dalam waktu yang lama rakyat lebih banyak dijadikan sebagai objek pembangunan. Peranan masyarakat hanya sebatas retorika, kepentingan birokrasi lebih menonjol dan birokrasi berubah menjadi personifikasi sekelompok elit birokrat.

Subari Sukardi –bekas Walikota Sawahlunto Sumatra Barat— berpendapat ada tiga alasan meengedepankan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk mewujudkan good governance. Pertama, kualitas program akan meningkat karena dengan partisipasi masyarakat yang besar akan memberikan jaminan bahwa tidak ada kepentingan masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses penentuan kebijakan pemerintah. Kedua, akan diperoleh legitimasi yang lebih besar karena dengan partisipasi masyarakat yang lebih besar maka rakyat akan mempunyai tanggung jawab terhadap kebijakan tersebut. Dan dukungan masyarakat akan menjadi lebih besar dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan. Ketiga, partisipasi masyarakat merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

Yang pasti, membiasakan diri untuk memberikan akses informasi penyelenggaraan negara terhadap masyarakat. Kebiasaan instansi pemerintah tertutup terhadap pihak luar (terutama yang ingin menadapatkan informasi) harus segera dihilangkan. Ketertutupan ini dapat menimbulkan rasa curiga yang berlebihan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Sikap arogan sudah tidak masanya lagi karena ini dapat menimbulkan sikap vis a vis antara masyarakat dengan jajaran penyelenggara negara di daerah. Dan, kalau ini berlanjut, ia akan menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Bagaimana menumbuhkan etos good governance tersebut ? Sebaiknya dimulai dari sikap individu penyelenggara negara. Pada kutipan awal tulisan ini saya kutipkan pidato pertama Abu Bakar Siddig ketika ia pertama menjadi kalifah. Ini adalah bukti bahwa ia memulai pelaksanaan pemerintahan yang baik dan bersih dari diri sendiri. Meskipun pewaris Nabi, ia tidak segan menagatakan : I am not the best of you, if I do ill put me right, false applause is treachery.

Terakhir, pemerintah di sini tidak hanya diterjemahkan sebagai eksekutif saja. Tetapi harus dilihat dalam pengertian yang lebih luas yaitu semua pihak yang memperoleh amanah dari rakyat seperti legislatif, yudikatif, dan bahkan termasuk kalangan pengajar di perguruan tinggi. Singkatnya semua pihak.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Asian Development Bank, (1997), Governance : Promoting Sound Development Management, ADB.

Dunn, William N., (1994), Public Policy Analysis, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Fendwick, John, (1995), Managing Local Government, Chapman & Hall, London.

Hadimulyo, (2000), Otonomi Daerah dan Good Governance, dalam Harian Republika, 4 November, Jakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk.

 

Masalah-masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia.

Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis).

Kedua perkembangan diatas, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai cenderung menghambat perluasan aktivitas bisnis, harus mulai menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), harus mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi sebagai pelaku.

Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Disadari, mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan waktu yang tidak singkat dan juga upaya yang terus menerus. Disamping itu, perlu juga dibangun kesepakatan serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen bangsa yang melibatkan tiga pilar berbangsa dan bernegara, yaitu para aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat madani untuk menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dalam rangka mencapai tata pemerintahan yang baik.

B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.         Apa pengertian dan latar belakang good governance?

2.         Bagaimana prinsip dan konsepsi good governance?

3.         Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor pemerintah?

4.         Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor swasta?

5.         Bagaimana cara mengembangkan struktur organisasi dan manajemen perubahan?

6.         Bagaimana hubungan antara good governance dengan otonomi daerah?

 

  BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Latar Belakang Good Governance

1.      Pengertian Good Governance

Dari segi administrasi pembangunan, good governance didefinisikan sebagai berikut:

An overall institutional framework within wich its citizens are allowed to interact and transact freely, at difference levels, to fulfil its political, economic and social apirations. Basically, good governance has three aspect:

(i)    The ability of citizens to express views and acces decision making freely;

(ii)  The capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to translate these views into realistic plans and to implement them cost effectively; and

(iii) The ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has been planned, and to compare what has been planned with what has been implemented".

Sedangkan dari segi teori pembangunan, good governance diartikan sebagai berikut:

" ........ a plitical and bureaucratic framework wich provides an enabling macra-economic environment for investment and growth, which pursues distributional and equity related policies; which makes entrepreneurial interventions when and where required and which practices honest and afficient management principles. A commited and imaginative political leadership accompanied by an efficient and accountable bureaucracy does seem to be the key to the establishment of good governance in a country."

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa good governance mensyaratkan adanya hubungan yang harmonis antara negara (state), masyarakat (civil siciety) dan pasar (market).

Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik (public sector) adalah menciptakan good governance. Pengertian good governance adalah kepemerintahan yang baik, menurut UNDP (United Nation Develepment Program) dapat diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

 

2.      Latar Belakang Good Governance

Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal. Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas kinerja birokrasi yang sesungguhnya.

B.     Prinsip dan Konsepsi Good Governance

1.      Prinsip Good Governance

Berdasarkan pengertian Good Governance oleh Mardiasmo dan Bank Dunia yang disebutkan diatas dan sejalan dengan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur Negara termasuk daerah aadlah perlunya mewujudkan administrasi Negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maka menuntut penggunaan konsep Good Governance sebagai kepemerintahan yang baik, relevan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Ide dasarnya sebagaimana disebutkan Tingkilisan (2005:116) adalah bahwa Negara merupakan institusi yang legal formal dan konstitusional yang menyelenggarakan pemerintahan dengan fungsi sebagai regulator maupun sebagai Agent of Change.

Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa Good Governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen professionalnya, maka ditetapkan Good Corporate Governance. Sehingga dikenal prinsip-prinsip utama dalam Governance korporat adalah: transparansi, akuntabilitas, fairness,responsibilitas, dan responsivitas. (Nugroho,2004:216)

Transparansi merupakan keterbukaan, yakni adanya sebuah system yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat keatas, dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dan dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewn komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara financial. Fairness agak sulit diterjemahkan karena menyangkut keadilan dalam konteksmoral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.

Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini, penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika korporat, termasuk dalam hal etika professional dan etika manajerial. Sementara itu komite governansi korporat di Negara-negara maju menjabarkan prinsip governansi korporat menjadi lima kategori, yaitu: (1) hak pemegang saham, (2) perlakuan yang fair bagi semua pemegang saham, (3) peranan konstituen dalam governansi korporat, (4) pengungkapan dan transparansi dan (5) tanggungjawab komisaris dan direksi.

UNDP memberikan beberapa karekteristik pelaksanaan good governance, meliputi:

·      Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

·      Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.

·      Tranparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

·      Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stake holders.

·      Concensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas

·      Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh kesejahteraan dan keadilian.

·      Efficiency dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).

·      Accountbility, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

·      Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki visi jauh ke depan.

C.    Karakteristik Dasar Good Governance

Ada tiga karakteristik dasar good governance :

1.   Diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.

2.   Tingginya sikap toleransi, baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati.

3.   Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.

Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak, dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.

D.    Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor Publik

Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada keterkaitan antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan di berbagai negara dengan lemahya corporate governance.

Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004).

Good Corporate Governance (GCG) diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan kegiatan studi Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan BUMD. Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal (baseline) yang komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di Sektor swasta, BUMN dan BUMD di Indonesia yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data pembanding dengan kondisi di masa depan.

Studi dilakukan dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran kuesioner kepada responden, (2) wawancara mendalam dengan pimpinan perusahaan yang menangani implementasi GCG, dan (3) penelusuran dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam studi ini adalah 66 perusahaan, yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public, 17 perusahaan BUMN (12 diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan, diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga karyawan non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan, pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga pembiayaan dan perusahaan afiliasi.

Data dari kuesioner diolah dan dianalisis secara kuantitatif, sedangkan hasil wawancara mendalam dan penelusuran dokumen diolah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis implementasi GCG dilakukan dengan mengukur implementasi berdasarkan prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness, serta berdasarkan kerangka kerja GCG yaitu compliance, conformance, dan performance. Selain itu, secara khusus dilihat aspek code of conduct, pencegahan korupsi dan disclosure. Dari hasil studi diketahui bahwa secara umum implementasi GCG pada perusahaan-perusahaan yang menjadi responden sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG yang mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan kerangka kerja implementasi GCG (compliance, conformance dan performance) yang mencapai 90,41. Demikian juga untuk aspek code of conduct, pencegahan korupsi, dan disclosure.

Hal ini berarti secara rata-rata, hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh perusahaan responden. Dari prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif lemah yaitu responsibilitas. Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan masih lemahnya implementasi dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah Komisaris. Sebagian perusahaan responden hanya memiliki Komite Audit, Komite Nominasi dan Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko, sedangkan komite-komite lainnya seperti Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite GCG, masih banyak yang belum memilikinya. Adapun prinsip yang sudah relatif kuat adalah prinsip transparansi dan fairness.

Ini menunjukkan perusahaan telah berupaya untuk lebih transparan dan fair kepada stakeholder. Jika dilihat berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek yang masih lemah adalah aspek compliance pada sisi Board dan conformance pada sisi Karyawan. Pada sisi Board, kelemahannya selain pada pembentukan komite-komite, juga pada implementasi pencegahan benturan kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan penegak hukum. Sedangkan pada sisi karyawan, berkaitan dengan penandatanganan pernyataan kepatuhan kepada Pedoman Perilaku dan Peraturan Perusahaan. Indeks code of conduct adalah 88,77. Artinya secara umum perusahaan telah memiliki code of conduct dan telah memuat beberapa hal yang berkaitan dengan implementasi prinsip-prinsip GCG. Namun yang masih perlu diperbaiki dalam code of conduct ini adalah sosialisasi kepada pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok dan perusahaan asuransi.

Indeks pencegahan korupsi adalah 89,39, yang berarti sudah cukup baik. Namun beberapa hal yang perlu didorong adalah pengawasan terhadap pelaksanaan dari tindakan yang berpotensi terhadap terjadinya benturan kepentingan. Selain itu, masih belum adanya kerjasama antara perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam mengembangkan sistem pencegahan korupsi. Indeks untuk disclosure ini adalah 92,42. Aspek ini termasuk yang menonjol dan menjadi perhatian utama dari responden, terutama bagi perusahaan yang sudah go public. Aspek ini menjadi sangat diprioritaskan oleh perusahaan karena kinerja pada aspek ini dapat dinilai dan dirasakan oleh pihak luar. Untuk analisis, perusahaan responden dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga Keuangan, BUMN/BUMD Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan, dan Swasta Non Lembaga Keuangan.

Pembagian ini untuk memudahkan analisis serta agar perbandingan antar perusahaan dapat dilakukan lebih fair. Hasil studi menunjukkan bahwa swasta lembaga keuangan memiliki indeks yang paling tinggi dibanding kelompok yang lain, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG maupun berdasarkan compliance, conformance, dan performance. Selain itu, kelompok ini juga memiliki indeks yang paling tinggi untuk code of conduct dan pencegahan korupsi.

Namun untuk disclosure, indeks tertinggi diraih kelompok swasta non lembaga keuangan. Secara umum implementasi di perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, baik perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Selain itu, implementasi di perusahaan yang swasta lebih baik dibanding BUMN/BUMD. Demikian pula, perusahaan yang sudah terbuka (go public) lebih baik dibanding perusahaan yang belum go public. Berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek compliance cukup lemah pada kelompok perusahaan non lembaga keuangan. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya perusahaan yang belum melengkapi komite-komite fungsionalnya. Selain itu, masih kurangnya tindakan komisaris terhadap (potensi) benturan kepentingan yang menyangkut dirinya. Sebaliknya, aspek-aspek tersebut sangat diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, sehingga lembaga keuangan lebih patuh dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Sebagai rekomendasi, untuk meningkatkan kualitas implementasi GCG, perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk lebih patuh dalam membentuk berbagai komite fungsional yang diperlukan dalam penerapan GCG. Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar lebih proaktif dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan dengan potensi terjadinya benturan kepentingan.

Selain itu, perlu diterbitkan peraturan yang dapat memaksa perusahaan sawsta yang belum terbuka dan BUMD untuk menerapkan GCG. Implementasi Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi pemerintah terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen Pajak, Bea Cukai, Imigrasi, BPN, Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan institusi penegak hukum. Hal ini untuk mendorong badan usaha lebih konsisten dalam menerapkan GCG serta untuk menciptakan iklam usaha yang lebih sehat, kondusif dan kompetitif. Dalam rangka meningkatkan kerjasama perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan rumusan bentuk dan metode kerjasama yang dapat dilakukan dan mendorong perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum.

Perlu adanya sosialisasi yang intensif tentang pedoman umum GCG, penyusunan code of conduct, kaitan GCG dengan pencegahan korupsi, dan best practises dalam penerapan GCG melalui berbagai media.

E.   Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan dalam Good Governance

Menurut Lukman Hakim Saifuddin, (2004) good governance (G) di Indonesia adalah penyelenggaraan peerintahan yang baik yang dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governance akan tercipta di antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol absolute.

Pengembangan publil good governance di Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai (cluster of values), yang notabane sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sekumpulan nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai good governance yakni (1) check and balances, (2) decentralization; (3) effectiveness; (4) efficiency, (5) equity, (6) human rights protection, (7) integrity, (8) participation, (9) pluralism, (10) predictability, (11) rule of law, dan (12) transparency.

Pertanyaan yang muncul kemudian dalam implementasinya adalah bagaimana mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan pemecahan persoalan penegakan good governance. Menurut Lukman Hakim, ada tiga faktor determinan pencapaian good governance, yakni lembaga atau pranata (institutions/system), sumber daya manusia (human factor), dan budaya (cultures).

Terkait dengan tiga faktor determinan tersebut, pada subbab ini akan dibahas tentang lembaga atau pranata, budaya dan sumber daya manusia dalam dua bagian, yaitu struktur organisasi dalam good governance dan manajemen perubahan yang diperlukan oleh organisasi.

1.      Struktur Organisasi dalam Good Governance

Globalisasi dan perkambangan informasi akan mempercepat perubahan organisasi. Menurut Tulis (2000), perubahan terhadap sumber daya manusia sebesar 10 persen saja dapat mengubah struktur organisasi, selain perubahan ang disebabkan faktor teknologi, ekonomi, politik, dan sosial. Praktik manajemen yang lama baik menyangkut struktur organisasi, personel, dan tugas pokok, akan menyebabkan resistensi terhadap perubahan dan menyebabkan sulitnya melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka mencapai efisiensi. Dalam rangka menghadapi perubahan yang begitu cepat, maka beberapa hal yang penting dilakukan adalah :

a.    Memelihara kesadaran yang tinggi akan urgensi

Perubahan besar dalam organisasi, baik struktur dan budaya tidak akan pernah sukses bila organisasi tersebut cepat puas. Kesadaran tinggi akan tingkat urgensi yaitu memahami hak yang mendesak dan menempatkannya sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat membantu proses mengatasi masalah dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi organisasi akan menyebabkan tingginya tingkat organisasi. Untuk memelihara urgensi tingkat tinggi maka diperlukan sistem informasi manajemen yang menyangkut sistem informasi akuntansi, untuk keuangan, sistem informasi sumber daya manusia (SDM) untuk mengukur kinerja SDM, dan sistem informasi lain yang diperlukan oleh organisasi. Sistem informasi ini akan menjamin kecermatan dan kejelian data, sehingga data yang digunakan untuk pengambilan keputusan yang valid.

b.    Penyusunan pranata organisasi

Misi dan tujuan setiap organisasi sektor publik adalah memuaskan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan publik serta melestarikan tingkat kepuasan masyarakat. Tanangan untuk mencapai kepuasan adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas pelayanan dan kepercayaan publik. Permasalahan dalam peningkatan mutu ini pada birokrasi terkendala dengan sumber informasi yang terbatas, tingkat pengetahuan aparat yang tidak memadai, budaya birokrasi, dan pengambilan keputusan yang tidak efektif karena delegasi wewenang yang tidak optimal serta tidak adanya insentif dan berkorelasi dengan sistem penggajian.

Permasalahan dalam penyusunan pranata organisasi adalah masalah keagenan, yaitu kebijaksanaan yang salah dan berjalan terus-menrus, program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta pekerjaan yang tidak berkonstruksi terhadap pencapaian tujuan organisasi. Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan pengembangan pranata organisasi pemerintah dan sistem nasional adalah mengoptimalkan informasi pengambilan keputusan serta menciptakan sistem penggajian yang sepadan dengan kinerja. Perbaikan sistem informasi dan sistem penggajian berbasis kinerja ini akan meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan publik.

c.    Perubahan Struktur Organisasi

Perubahan kondisi pasar, teknologi, sistem sosial, regulasi, dan pelaksanaan Good Governance dapat memengaruhi struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan struktur organisasi perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan public terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.

Perubahan struktur organisasi mencakup tiga unsur sebagai determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang sepadan, dan (c) sistem evaluasi indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit organisasi.

Masalah utama dalam perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya. Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan  struktur organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis secara cermat dan hati-hati.

Perubahan struktur organisasi sebelum GG dan sesudah GG

Sebelum GG

Sesudah GG

Struktur bersifat :

1.  Birokratik,

2.  Multilevel

3.  Disorganisasi dengan manajemen

4.  Kebijakan, program, dan prosedur ruwet

Struktur bersifat :

1.  Nonbirokratik, sedikit aturan

2.  Lebih sedikit level

3.  Manajemen berfungsi baik

4.  Kebijakan, program dan prosedur sederhana, tidak menimbulkan ketergantungan

Sistem :

1.  Tergantung pada beberapa sistem informasi kinerja

2.  Distribusi informasi terbatas pada eksekutif

3.  Pelatihan manajemen hanya pada karyawan senior

Sistem :

1.  Tergantung pada sistem informasi kinerja

2.  Distribusi informasi luas,

3.  Memberikan pelatihan kepada karyawan yang membutuhkan

Budaya Organisasi :

1.  Orientasi ke dalam

2.  Tersentralisasi

3.  Lambat dalam pengambilan keputusan

4.  Realistis-idiologi

5.  Kurang berani mengambil keputusan

Budaya Organisasi :

1.  Orientasi ke luar

2.  Memberdayakan sumber daya

3.  Pengambilan keputusan cepat

4.  Terbuka dan berintegrasi

5.  Berani mengambil risiko

 

Dalam rangka pelaksanaan GG, makia organisasi modern dapat melakukan :

1.    Kesadaran yang tinggi terhadap tingkat urgensi

2.    Kerja sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen

3.    Bisa menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik

4.    Pemberdayaan semua karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat

5.    Memberikan delegasi wewenang dengan efektif

6.    Mengurangi ketergantungan yang tidak perlu, dan

7.    Mengembangkan budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja

2.      Manajemen Perubahan

Sesuai dengan pertimbangan TAP MPR RI Nomor II/MPR/1999, masalah krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia merupakan penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Reformasi di segala bidang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan serta penguatan kepercayaan diri

Kemampuan para pemimpin penyelenggara pemerintahan dan masyarakat yang mengelola perubahan menjadi sangat krisis dan strategis, terutama sensitifitas dan responsibilitas terhadap tanda dan waktu perubahan tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam manajemen perubahan, yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada yang gagal?

Perubahan yang gagal disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

a.    Terlalu cepat puas

b.    Team work yang gagal

c.    Merumuskan visi, misi, dan program dengan kurang tepat

d.    Gagal menciptakan harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi

e.    Menganggap perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan perubahan, dan

f.     Tidak bisa mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi budaya yang baru dalam organisasi.

Untuk mengurangi kegagalan dalam perubahan budaya organisasi, maka harus dihilangkan atau dikurangi dampak negatif dari perubahan seperti bubarnya organisasi, kehilangan pasar dan kepuasaan pelanggan, penurunan gaji dan harus dikikis dengan menjelaskan mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan, bagaimana tahap perubahan, bagaimana hasil akhir dari perubahan, dan bagaimana peran serta dari setiap anggota organisasi dalam perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam perubahan, ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu :

1.    Menetapkan strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan

2.    Mengembangkan semangat kerja sama tim yang tinggi

3.    Mengembangkan strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program perubahan, sehingga anggota dapat termotivasi, dan

4.    Memberdayakan setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan bakat.

F.     Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah

Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.

Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :

1. Urusan Pemerintahan;

2. Kelembagaan;

3 Personil;

4. Keuangan;

5. Perwakilan;

6. Pelayanan Publik dari

7. Pengawasan.

Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dari dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD

dari Papua, penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.

Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.

Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.

Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyai

dampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.

Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.

Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:

1.      Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancanggan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.

2.      Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk memberikan arti serta defenisi tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.

3.      Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good Governance sehingga tidak ada kesalahan dalam aplikasinya.

4.      Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan karena peranan perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.

B.     Saran

Atas kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-kelemahan dalam penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:

1.      Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait. Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki integritas dan nilai etika yang rendah.

2.      Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.

 
DAFTAR PUSTAKA

 

 

http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/99011-12-466363723031.doc

http://www.alisjahbana08.wordpress.com/page/22/

http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=7

http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067

http://www.scribd.com/doc/52568330/Good-Governance

http://www.scribd.com/document_downloads/direct/52568330?extension=docx&ft=1322794393&lt=1322798003&uahk=I7OI11/oFO1Qz582ultXVVmvKbU

 

 

Sumber :  http://valentsimplewritter.blogspot.com/2012/01/makalah-pkn-good-governance.html